Oleh Aprinus Salam
Porno itu hampir identik dengan
seksualitas dari sisinya yang mengandung kemesuman. Atau porno itu wajah lain
dari seks mesum. Tidak ada porno jika di dalamnya tidak bernafaskan sesuatu
yang berbau seksualitas. Mungkin itu pula sebabnya porno itu menarik dan
sekaligus paradoksal. Menarik bukan karena ia bagian dari kehidupan kita
sehari-hari, tapi karena ada kenikmatan di dalamnya.
Mengapa dikatakan paradoksal? Karena
kita "terpaksa" menolaknya, mungkin karena dianggap dapat merusak
akhlak, sementara diam-diam kita menikmati dan melahapnya. Di satu pihak ada
yang mengatakan tidak etis, vulgar, dan jorok, di lain kesempatan kita
mengatakannya estetis. Ada yang mengatakannya itu hanya sekadar mengalihkan
perhatian, tetapi tidak kurang pula yang mengatakan bahwa kepornoan sebagai
cerminan kondisi psiko-sosiologis masyarakat. Ada yang mengatakan sekadar
iseng, tidak kurang pula yang memanfaatkannya sebagai aset bisnis yang besar.
Dan seterusnya.
Sebetulnya, kepornoan terjadi bukan
karena seks yang buka-bukaan, tetapi karena seks dibuka-buka bukan pada tempat
dan waktu yang tepat. Dari situ kita tahu, bahwa yang kita tolak adalah sesuatu
yang tidak pada waktu dan tempatnya. Artinya, bukan saja soal seks yang menjadi
porno, tetapi apapun yang dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi
sesuatu yang berlebihan dan tidak benar.
Jadi, bukan saja soal seks.
Persoalan rumah tangga jika dibawa-bawa ke luar, ia menjadi aib. Sebaliknya,
persoalan publik yang seharusnya dibicarakan secara terbuka, transparan, namun
jika dibicarakan dan diselesaikan di belakang layar secara terselubung, ia
menjadi kolusi. Uang negara atau rakyat yang seharusnya dapat diberdayagunakan
bersama demi kemanusiaan dan pembangunan, misalnya, tetapi ketika secara
sembunyi-sembunyi diambil untuk dinikmati sendiri dan keluarga, itu namanya
korupsi. Dan sebagainya.
* * *
Bukan berarti seks harus ditutup
sedemikian rapat sehingga jika dibuka sedikit saja ia menjadi porno. Karena
jika itu yang terjadi, sebetulnya kita juga tidak mengajarkan secara baik
kepada mereka yang berhak mengenalnya. Bukan berarti masyarakat yang tidak
mengenal seks yang dibuka-buka secara vulgar otomatis adalah masyarakat yang
berakhlak. Demikian sebaliknya, kita tidak dapat mengatakan ketika sebuah
negara menghalalkan pornografi lantas masyarakatnya dinilai berakhlak rendah.
Semua serba bergantung.
Ini hanya persoalan aturan main, dan
bagaimana kita memainkan secara konsisten dan bertanggung jawab terhadap
aturan main tersebut. Aturan main yang dimaksud tidak lain peraturan bahwa
semua hal menuntut untuk ditempatkan pada tempat dan waktu yang sesuai, yang
proporsional. Berkehidupan sesuai dengan aturan main tersebutlah nilai-nilai
kehidupan dapat terpelihara. Kita percaya bahwa konvensi- konvensi nilai maupun
norma pada dasarnya adalah sejumlah aturan main yang sebaiknya diberlakukan
bersama.
Dalam hal ini, bukan berarti kita
tidak mengetahui aturan main tersebut. Sebagai bangsa kita terlanjur dibesarkan
dalam sejarah yang centang perenang, dalam sejarah yang mengajarkan kita agar
terbiasa dengan sejumlah pelanggaran- pelanggaran, dalam sejarah yang tidak
bertanggung jawab.
Sebagai contoh terdekat saja adalah
sejarah Orde Baru. Bagaimana dalam sejarah Orba tersebut kita diajarkan bahwa
banyak hal tidak berjalan sesuai dengan ruang dan waktu yang sesuai.
Penyelenggaraan hukum diperlakukan seenaknya, tidak berdasarkan aturan main
yang seharusnya. Kekuasaan diperlakukan bukan demi kehidupan bernegara dan
bermasyarakat yang baik, tetapi justru dimanfaatkan demi pelanggengan kekuasaan
itu sendiri. Pelaksanaan pendidikan bukan dalam rangka idealisme ilmiah dan intelektual,
tetapi sebagian besar justru dalam kerangka bisnis belaka, dan lain-lain.
Sebagai akibatnya, sebetulnya
masyarakat hanya saling belajar dan saling menirukan. Seksualitas adalah salah
satu entitas yang dapat dijadikan semacam eksperimen untuk dimani-mainkan.
Kalau kebetulan tidak menimbulkan masalah, dia adalah aset. Namun, jika
menimbulkan masalah, banyak persoalan lain yang dapat dituntut sehingga
persoalan porno tampaknya bukan hal terlalu penting untuk ditin daklanjuti
sesuai dengan hukum atau aturan main yang berlaku.
Maka dapat dimaklumi bahwa
pihak-pihak yang dituduh atau terlibat melakukan "pornografi"
memiliki sejumlah alasan bahwa apakah kegiatan mereka betul- betul melanggar
hukum, betul-betul merugikan negara dan masyarakat, betul-betul dapat merusak
akhlak, dibandingkan mereka yang
terbukti melakukan korupsi milyaran atau bahkan triliunan, tetapi kenyataannya
bisa bebas berkeliaran. Belum lagi sejumlah alasan yang berkaitan dengan
definisi dan tafsir seputar kepornoan itu sendiri.
* * *
Itulah sebabnya, dalam perspektif
tertentu saya ingin mengatakan bahwa kita dapat belajar dari kasus kepornoan
justru untuk proses-proses demokratisasi. Seperti halnya demokrasi dan
demokratisasi, adalah proses ketika masyarakat diberi kesempatan sepenuhnya
untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk menentukan pilihan- pilihannya
sendiri, untuk hidup bebas tanpa tekanan, saling percaya, sesuai dengan hak-hak
kemanusiaan yang seharusnya dimilikinya.
Tentu saja proses untuk menuju
kehidupan demokratis tersebut ada aturan mainnya pula. Salah satu tuntutan
tersebut adalah bagaimana menempatkan kriteria atau nilai-nilai demokratis yang
terdapat dalam dirinya sesuai dengan prinsip ketepatan tempat dan waktunya.
Jika itu dilanggar, yang terjadi bukan demokrasi, tetapi mengarah pada anarkis
dan otoriter. Misalnya, memaksakan terjadinya perbedaan pilihan sebagai hal
yang lebih penting daripada kemungkinan bahwa ada hal-hal tertentu yang dapat
diterima bersama, walaupun hal tersebut bukan pilihan terbaik bagi seseorang
yang berbeda pendapat.
Hal lain yang penting bagi proses
demokratis adalah bahwa proses tersebut cenderung menutut sesuatu yang alamiah.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan alamiah
adalah suatu proses yang berjalan tanpa harus dipaksakan, tanpa harus
diatur dan direkayasa sedemikian rupa. Biarkan "seleksi alam", yang
perlahan tapi pasti, menyeleksi terus menerus mana yang penting mana yang
tidak, mana yang sesuai dengan kebutuhan mana yang tidak, mana yang sesuai
dengan kehidupan kemanusiaan yang wajar, membebaskan, dan mana yang tidak, dan
sebagainya, bagi masyarakat bersangkutan.
Demikian pula halnya dengan
kepornoan. Sebagai satu fenomena, kepornoan, walau dianggap melanggar
batas-batas ruang dan waktu yang tepat, tetapi pada perspektif tertentu adalah
sebuah pilihan. Fenomena tersebut tidak dapat dijadikan kambing hitam bagi
rusaknya kehidpan moral masyarakat. Apakah dengan tidak adanya kepornoan lantas
moral masyarakat akan lebih baik?
Di samping itu, beri pula kesempatan
kepada masyarakat untuk "menyeleksi" secara bebas pilihan-pilihan
terhadap apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkannya. Mungkin, karena selama
ini seks secara palsu terkesan ditutup-tutupi, maka ketika ada sedikit
kebebasan, seolah-olah sebagian besar masyarakat terkaget-kaget, bahkan dengan
berlagu seolah menolaknya. Padahal kita tahu, fenomena pornografi yang
ditawarkan media massa tertentu belum apa-apa bila dibanding dengan kepornoan
yang ditawarkan seperti kaset video, vcd, stensilan, dan lain sebagainya.
Dan kita tahu sama tahu
barang-barang tersebut, bebas berkeliaran dari rumah ke rumah, dari kamar ke
kamar siapa saja. Siapapun bisa mengaksesnya. Artinya, peluangnya sama
terbukanya dibandingkan majalah atau tabloid yang menawarkan gambar-gambar
vulgar.
Memang, secara moral pemerintah
bertanggungjawab untuk memaksimalkan tegaknya kehidupan moral yang lebih baik.
Tetapi, dengan dibiarkannya kasus-kasus lain yang tidak kalah lebih memalukan
daripada sekadar kepornoan, bisa jadi teguran atau peringatan pemerintah merupakan
formalitas belaka. Jika itu yang terjadi, maka sebetulnya moral kita secara
keseluruhan betul-betul sudah parah. Kasus porno saja dipolitisir sedemikian
rupa, hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mudah- mudahan perkiraan
tersebut salah. * * *
Ini menarik, mengajak melihat politik dengan terlebih dulu menelanjangi kecenderungan kita untuk bersikap hipokrit dalam mengatur hal-hal yang sebenarnya esesial dalam hidup. Politik sebagaimana seks adalah hal yang esensial tak terelakkan dalam kehidupan, tapi dalam banyak kasus keduanya ditempatkan secara buruk sehingga harus dijauhi. Padahal, ajak kang Aprinus, bukan baik buruknya yang penting tapi kejelasan dan konsistensi kita dalam menempatkan keduanya, itulah yang penting. Karena dengan kedua cara itu, kita bisa mendapati keduanya sebagai sesuatu yang sehat, perlu dan mungkin menyenangkan
BalasHapus