Rabu, 25 April 2012

POLITIK PORNO


Oleh Aprinus Salam

Porno itu hampir identik dengan seksualitas dari sisinya yang mengandung kemesuman. Atau porno itu wajah lain dari seks mesum. Tidak ada porno jika di dalamnya tidak bernafaskan sesuatu yang berbau seksualitas. Mungkin itu pula sebabnya porno itu menarik dan sekaligus paradoksal. Menarik bukan karena ia bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tapi karena ada kenikmatan di dalamnya.

Mengapa dikatakan paradoksal? Karena kita "terpaksa" menolaknya, mungkin karena dianggap dapat merusak akhlak, sementara diam-diam kita menikmati dan melahapnya. Di satu pihak ada yang mengatakan tidak etis, vulgar, dan jorok, di lain kesempatan kita mengatakannya estetis. Ada yang mengatakannya itu hanya sekadar mengalihkan perhatian, tetapi tidak kurang pula yang mengatakan bahwa kepornoan sebagai cerminan kondisi psiko-sosiologis masyarakat. Ada yang mengatakan seka­dar iseng, tidak kurang pula yang memanfaatkannya sebagai aset bisnis yang besar. Dan seterusnya.

Sebetulnya, kepornoan terjadi bukan karena seks yang buka-bukaan, tetapi karena seks dibuka-buka bukan pada tempat dan waktu yang tepat. Dari situ kita tahu, bahwa yang kita tolak adalah sesuatu yang tidak pada waktu dan tempatnya. Artinya, bukan saja soal seks yang menjadi porno, tetapi apapun yang dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi sesuatu yang berlebihan dan tidak benar.

Jadi, bukan saja soal seks. Persoalan rumah tangga jika dibawa-bawa ke luar, ia menjadi aib. Sebaliknya, persoalan publik yang seharusnya dibicarakan secara terbuka, transparan, namun jika dibicarakan dan diselesaikan di belakang layar secara terselubung, ia menjadi kolusi. Uang negara atau rakyat yang seharusnya dapat diberdayagunakan bersama demi kemanusiaan dan pembangunan, misalnya, tetapi ketika secara sembunyi-sembunyi diambil untuk dinikmati sendiri dan keluar­ga, itu namanya korupsi. Dan sebagainya. 

* * *
Bukan berarti seks harus ditutup sedemikian rapat sehingga jika dibuka sedikit saja ia menjadi porno. Karena jika itu yang terjadi, sebetulnya kita juga tidak menga­jarkan secara baik kepada mereka yang berhak mengenalnya. Bukan berarti masyar­akat yang tidak mengenal seks yang dibuka-buka secara vulgar otomatis adalah masyarakat yang berakhlak. Demikian sebaliknya, kita tidak dapat mengatakan ketika sebuah negara menghalalkan pornografi lantas masyarakatnya dinilai berakh­lak rendah. Semua serba bergantung.

Ini hanya persoalan aturan main, dan bagaimana kita memainkan secara konsis­ten dan bertanggung jawab terhadap aturan main tersebut. Aturan main yang dimak­sud tidak lain peraturan bahwa semua hal menuntut untuk ditempatkan pada tempat dan waktu yang sesuai, yang proporsional. Berkehidupan sesuai dengan aturan main tersebutlah nilai-nilai kehidupan dapat terpelihara. Kita percaya bahwa konvensi- konvensi nilai maupun norma pada dasarnya adalah sejumlah aturan main yang sebaiknya diberlakukan bersama.

Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak mengetahui aturan main tersebut. Sebagai bangsa kita terlanjur dibesarkan dalam sejarah yang centang perenang, dalam sejarah yang mengajarkan kita agar terbiasa dengan sejumlah pelanggaran- pelanggaran, dalam sejarah yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai contoh terdekat saja adalah sejarah Orde Baru. Bagaimana dalam sejarah Orba tersebut kita diajarkan bahwa banyak hal tidak berjalan sesuai dengan ruang dan waktu yang sesuai. Penyelenggaraan hukum diperlakukan seenaknya, tidak berdasarkan aturan main yang seharusnya. Kekuasaan diperlakukan bukan demi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang baik, tetapi justru dimanfaatkan demi pelanggengan kekuasaan itu sendiri. Pelaksanaan pendidikan bukan dalam rangka idealisme ilmiah dan intelektual, tetapi sebagian besar justru dalam kerangka bisnis belaka, dan lain-lain.

Sebagai akibatnya, sebetulnya masyarakat hanya saling belajar dan saling menirukan. Seksualitas adalah salah satu entitas yang dapat dijadikan semacam eksperimen untuk dimani-mainkan. Kalau kebetulan tidak menimbulkan masalah, dia adalah aset. Namun, jika menimbulkan masalah, banyak persoalan lain yang dapat dituntut sehingga persoalan porno tampaknya bukan hal terlalu penting untuk ditin­ daklanjuti sesuai dengan hukum atau aturan main yang berlaku.

Maka dapat dimaklumi bahwa pihak-pihak yang dituduh atau terlibat melaku­kan "pornografi" memiliki sejumlah alasan bahwa apakah kegiatan mereka betul- betul melanggar hukum, betul-betul merugikan negara dan masyarakat, betul-betul dapat merusak akhlak, dibandingkan  mereka yang terbukti melakukan korupsi milyaran atau bahkan triliunan, tetapi kenyataannya bisa bebas berkeliaran. Belum lagi sejumlah alasan yang berkaitan dengan definisi dan tafsir seputar kepornoan itu sendiri.

* * *
Itulah sebabnya, dalam perspektif tertentu saya ingin mengatakan bahwa kita dapat belajar dari kasus kepornoan justru untuk proses-proses demokratisasi. Seperti halnya demokrasi dan demokratisasi, adalah proses ketika masyarakat diberi kesem­patan sepenuhnya untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk menentukan pilihan- pilihannya sendiri, untuk hidup bebas tanpa tekanan, saling percaya, sesuai dengan hak-hak kemanusiaan yang seharusnya dimilikinya.

Tentu saja proses untuk menuju kehidupan demokratis tersebut ada aturan mainnya pula. Salah satu tuntutan tersebut adalah bagaimana menempatkan kriteria atau nilai-nilai demokratis yang terdapat dalam dirinya sesuai dengan prinsip ketepa­tan tempat dan waktunya. Jika itu dilanggar, yang terjadi bukan demokrasi, tetapi mengarah pada anarkis dan otoriter. Misalnya, memaksakan terjadinya perbedaan pilihan sebagai hal yang lebih penting daripada kemungkinan bahwa ada hal-hal tertentu yang dapat diterima bersama, walaupun hal tersebut bukan pilihan terbaik bagi seseorang yang berbeda pendapat.

Hal lain yang penting bagi proses demokratis adalah bahwa proses tersebut cenderung menutut sesuatu yang alamiah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan alamiah  adalah suatu proses yang berjalan tanpa harus dipaksakan, tanpa harus diatur dan direkayasa sedemikian rupa. Biarkan "seleksi alam", yang perlahan tapi pasti, menyeleksi terus menerus mana yang penting mana yang tidak, mana yang sesuai dengan kebutuhan mana yang tidak, mana yang sesuai dengan kehidupan kemanusiaan yang wajar, membebaskan, dan mana yang tidak, dan sebagainya, bagi masyarakat bersangkutan.

Demikian pula halnya dengan kepornoan. Sebagai satu fenomena, kepornoan, walau dianggap melanggar batas-batas ruang dan waktu yang tepat, tetapi pada perspektif tertentu adalah sebuah pilihan. Fenomena tersebut tidak dapat dijadikan kambing hitam bagi rusaknya kehidpan moral masyarakat. Apakah dengan tidak adanya kepornoan lantas moral masyarakat akan lebih baik?

Di samping itu, beri pula kesempatan kepada masyarakat untuk "menyeleksi" secara bebas pilihan-pilihan terhadap apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkannya. Mungkin, karena selama ini seks secara palsu terkesan ditutup-tutupi, maka ketika ada sedikit kebebasan, seolah-olah sebagian besar masyarakat terkaget-kaget, bahkan dengan berlagu seolah menolaknya. Padahal kita tahu, fenomena pornografi yang ditawarkan media massa tertentu belum apa-apa bila dibanding dengan kepornoan yang ditawarkan seperti kaset video, vcd, stensilan, dan lain sebagainya.

Dan kita tahu sama tahu barang-barang tersebut, bebas berkeliaran dari rumah ke rumah, dari kamar ke kamar siapa saja. Siapapun bisa mengaksesnya. Artinya, peluangnya sama terbukanya dibandingkan majalah atau tabloid yang menawarkan gambar-gambar vulgar.

Memang, secara moral pemerintah bertanggungjawab untuk memaksimalkan tegaknya kehidupan moral yang lebih baik. Tetapi, dengan dibiarkannya kasus-kasus lain yang tidak kalah lebih memalukan daripada sekadar kepornoan, bisa jadi teguran atau peringatan pemerintah merupakan formalitas belaka. Jika itu yang terjadi, maka sebetulnya moral kita secara keseluruhan betul-betul sudah parah. Kasus porno saja dipolitisir sedemikian rupa, hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mudah- mudahan perkiraan tersebut salah. * * *

1 komentar:

  1. Ini menarik, mengajak melihat politik dengan terlebih dulu menelanjangi kecenderungan kita untuk bersikap hipokrit dalam mengatur hal-hal yang sebenarnya esesial dalam hidup. Politik sebagaimana seks adalah hal yang esensial tak terelakkan dalam kehidupan, tapi dalam banyak kasus keduanya ditempatkan secara buruk sehingga harus dijauhi. Padahal, ajak kang Aprinus, bukan baik buruknya yang penting tapi kejelasan dan konsistensi kita dalam menempatkan keduanya, itulah yang penting. Karena dengan kedua cara itu, kita bisa mendapati keduanya sebagai sesuatu yang sehat, perlu dan mungkin menyenangkan

    BalasHapus