Jumat, 27 April 2012

MABUK PELECEHAN


 Apakah pelecehan itu sungguh serius? Ada apa di balik pelecehan sehingga tidak jarang membuat kita menjadi goncang, ramai, sibuk, dan emosional?
Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya istilah pelecehan itu digunakan, khususnya di Indonesia. Kalau tidak salah istilah itu mulai go public dan merebak lebih dalam konotosi pelecehan seksual. Yaitu suatu kondisi ketika telah terjadi "pengusikan", baik sengaja atau tidak, terhadap harga diri , martabat, dan eksistensi kewanitaan yang, biasanya dilakukan oleh kaum maskulin.

Tapi kemudian istilah tersebut mengalami pelebaran dan penganalogian makna. Untuk segala peristiwa/perkataan yang sifatnya merendahkan, menghina, menghujat, ngenyek, guyon, gojeg, kritik, "bertanya", jika tidak berkenan bagi pihak tertentu, maka orang itu dianggap telah melakukan pelecehan. Oleh karenanya, ia pantas dituntut, dihukum, atau dibunuh.

* * *
Itulah sebabnya, kita mengenal istilah, di samping di atas, pelecehan politik, pelecehan sosial, pelecehan hukum, pelecehan ilmiah, pelecehan SARA, pelecehan harga diri, dst.. Dan tentu saja pelecehan terhadap pelecehan itu sendiri. Yakni kondisi merendahkan, menghina, sinis, tak mau tahu, ketika  melihat atau menden­gar ada kejadian pelecehan.

Tanpa bermaksud menafikan jenis pelecehan lain, di antara berbagai jenis pelecehan itu, sejauh ini, hanya pelecehan agama dan politik yang berpeluang besar menjadi serius. Memang, jenis pelecehan seksual sempat mengharubirukan diskursus dialogis di berbagai pembicaraan resmi maupun perbincangan sehari-hari. Tapi, tampaknya jenis pelecehan ini tetap berjalan, tanpa menimbulkan kegemparan yang berarti.

Yang menarik bukan mengidentifikasi jenis pelecehan, tetapi justru kerancuan batas pelecehan.  Kapan sebuah pelecehan dianggap betul-betul dalam konteks poli­tik/agama. Kapan hanya sekadar guyon, isu, rumor, atau bahkan sekadar taktik. Kapan harus ditanggapi serius, kapan tidak. Yang merisaukan, ketika konteks dan kata pelecehan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Yakni ketika budaya pelecehan dikooptasi sedemikian rupa oleh sistem kekuasan, dan dalam rangka kepentingan serta rakayasa politik tertentu pula. Caranya beragam; ada yang kita namakan provokasi, atau sebaliknya, karena tidak tahu kita menamakannya high politic. Salah satu cara misalnya, dengan mengembangkan pernyataan-pernyataan strategis dan tendensius.

Dalam hal ini media (komunikasi) massa, memainkan peranan penting. Karena hampir semua informasi (baca:isu) tak luput dari jamahan media pers. Sayangnya, dalam penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat seperti yang kita alami ini, media komunikasi massa mana yang tidak terkontrol dan terkontaminasi? Apalagi yang tidak bermaksud untuk sedikit sensasional.

* * *
Sebelum beranjak sampai sejauh mana budaya pelecehan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tidak ada salahnya mempertanyakan mengapa satu jenis pelece­han mampu memancing emosi massa hingga menyebabkannya melakukan tindakan politik.

Seperti diketahui, "kebudayaan Indonesia" secara keseluruhan dibesarkan dalam tradisi rasa. Maksudnya, suatu kecenderungan budaya yang lebih mementing­kan dan mengutamakan dimensi-dimensi batiniah, estetika, keselarasan, keharmoni­san, tenggang rasa, tepo seliro, religiusitas, dan hal lain yang secara sederhana biasanya disebut sesuatu yang bersifat "emosional".

Entah kenapa, daerah paling rawan dari wilayah itu adalah sesatu yang berbau agama. Mungkin karena agamalah (aspek religiusitas) yang dengan setia bersenyawa secara ketat dengan wilayah rasa. Wilayah ini pada sisinya yang lain sangat berwa­jah politis atau paling tidak dipolitisir.

Sebagai akibatnya, dalam banyak kejadian orang Indonesia lebih mendahulu­kan aspek "emosi"-nya dari pada berpikir jernih melihat berbagai persoalan. Untuk menyebutkan sebuah contoh menonjol, kita memakai istilah unjuk rasa untuk segala sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demonstratif. Kejadian unjuk rasa di negeri kita ini, sungguh terlalulah seringnya. Dari situ, tanpa berprasangka buruk terhadap penyelenggaraan sistem kekua­saan dan kepentingan politik tertentu, ada kemungkinan aspek emosi massa tersebut diskenario dan digembalakan untuk siap dimanfaatkan dan dipakai bila mana diper­lukan.

Tentu saja tidak perlu dituding kasus per kasus. Apakah itu berkaitan dengan unjuk rasa para buruh, aktivis-aktivis LSM, demonstrasi di kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga atau ormas-ormas resmi. Kasusnya juga bermacam-macam, apakah itu berkaitan dengan pelanggaran HAM, kebebasan akademik, atau jenis tragedinya Salman Rusdi dengan Ayat-ayat Setan-nya, Arswendo dengan Monitornya, dan "ramalan" politik Permadi yang juga sempat menghebohkan. Pada masa reformasi (transisi), tak perlulah dibahas bagaimana unjuk rasa telah menjadi mode yang membahana.

* * *
Pernyataan di atas, ingin menegaskan bahwa bisa jadi memang ada peristiwa "kseleo lidah/ucapan" tanpa sungguh-sungguh menyatakan hal tersebut dengan sepenuh hati. Dan mungkin dengan maksud sekadar mengemukakan isu agar menar­ik perhatian. Namun, ketika ada pihak-pihak yang berangkali kurang bahagia mendengar Si Pengucap terseleo, itulah saatnya perseleoannya digiring dalam wacana agama dan atau politik.

Ketika persoalan masuk ke dalam wacana itu, maka seolah-olah semua menjadi serius. Seolah jika tidak dipersoalkan dan dituntaskan, dunia akan berhenti berputar. Masyarakat akan kacau, akan terjadi kegemparan-kegemparan yang mengakibatkan dunia ini segera kiamat.

Sayangnya, memang belum ada contoh yang cukup memadai jika suatu prob­lem pelecehan dibiarkan saja. Apakah kemudian terjadi seperti yang kita bayangkan dengan kengerian. Bukankah iklim terasa menjadi panas ketika ia dipersoalkan, digiring ke wacana politik/agama, kemudian terjadi unjuk-unjuk rasa.

Muncul pertanyaan lain, apakah jika tidak mempersoalkan persoalan pelecehan kita mengalami kemunduran. Atau sebaliknya dengan memperkarakannya negara kita ini menjadi lebih meningkat GNP-nya, dengan ukuran tertentu dapat disebut menjadi lebih maju. Apakah tidak mungkin, misalnya, membiarkan pelecehan seba­gai rahasia umum. Sejauh ini tidak pernah sebuah bangsa kocar-kacir hanya ketika  sebuah isu pelecehan menjadi rahasia umum.

Toh, sebetulnya kita juga sudah cukup terlatih dan terbiasa bermain-main dengan isu-isu, terlepas dari penting atau tidak, terhadap rahasia umum. Kalau akhirnya selalu didiskusikan, tidak lebih menjadi pembicaraan tingkat "warung kopi". Pada gilirannya, dia akan terbenam dengan sendirinya sesuai dengan bergu­lirnya sang waktu.

Tidakkah di lain pihak mempermasalahknan seperti kasus Permadi pada paruh kedua 1990-an, hanya akan meruwetkan hal-hal yang sebetulnya tidak ruwet. Coba­lah sekali-kali diramal sendiri, tidakkah kalau seandainya didiamkan saja, tidak akan berubah menjadi kasak-kusuk yang berarti. Di sinilah, mau tak mau timbul prasang­ka-prasangka. Jangan-jangan kejadian sejenis memang sengaja dibesar-besarkan.

Namun, dalam hal ini perlu pula diakui, tidak demikian halnya bagi kepentin­gan politik tertentu. Ada angle-angle yang sengaja dipantau dan ditunggu secara terus menerus yang diharapkan bisa menjadi pemicu bagi tendensi politik yang lain. Apakah itu establisasi kekuasaan, pengalihan konsentrasi dan perhatian, atau bahkan semata-mata untuk sekadar "hiburan".

Dampaknya, pada akhirnya masyarakat hanya terjebak secara emosional dalam labirin kepentingan-kepentingan. Tanpa berhitung, jika ada pihak yang "menang atau kalah", secara otomatis kita akan kecipratan terhadap kemenangan itu. Jangan-jangan justru selalu menjadi korban.

Lain halnya jika ada satu jenis pelecehan yang jika diperkarakan akan member­ikan "nilai tambah". Agak sulit, memang, memberikan contoh pelecehan seperti itu. Sebagai ilustrasi, Hamzah Fansuri, Hallaj, Syeikh Siti Jenar, dan banyak lagi, paling tidak pernah dianggap melecehkan religiusitas ortodoks. (Lihat beberapa buku berkaitan dengan itu semisal Al-Attas, 1970, Baried, 1985). Memang sempat memakan korban, karena pada akhirnya pelecehan tersebut dimanipulir untuk kepen­tingan politik kekuasaan.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri jika berbagai diskusi dan penelitian ten­ tangnya terus berkembang dan memberi perspektif yang signifikan bagi pemahaman kereligiusitasan, pemahaman kespritualitasan, bahkan hingga hari ini. Belajar dari kejadian ini, tidak ada salahnya jika memang ada pelecehan yang dianggap serius, artinya si peleceh menuliskan atau berucap dengan argumentasi yang bisa dipertang­gungjawabkan secara "ilmiah", maka ditanggapi secara "ilmiah" pula.

Jadi, jangan sampai terjadi pertengkaran dan perkelahian hanya karena secara kebetulan ada orang ngelindur. Dan kita heboh!. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar