Jumat, 27 April 2012

MABUK PELECEHAN


 Apakah pelecehan itu sungguh serius? Ada apa di balik pelecehan sehingga tidak jarang membuat kita menjadi goncang, ramai, sibuk, dan emosional?
Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya istilah pelecehan itu digunakan, khususnya di Indonesia. Kalau tidak salah istilah itu mulai go public dan merebak lebih dalam konotosi pelecehan seksual. Yaitu suatu kondisi ketika telah terjadi "pengusikan", baik sengaja atau tidak, terhadap harga diri , martabat, dan eksistensi kewanitaan yang, biasanya dilakukan oleh kaum maskulin.

Tapi kemudian istilah tersebut mengalami pelebaran dan penganalogian makna. Untuk segala peristiwa/perkataan yang sifatnya merendahkan, menghina, menghujat, ngenyek, guyon, gojeg, kritik, "bertanya", jika tidak berkenan bagi pihak tertentu, maka orang itu dianggap telah melakukan pelecehan. Oleh karenanya, ia pantas dituntut, dihukum, atau dibunuh.

* * *
Itulah sebabnya, kita mengenal istilah, di samping di atas, pelecehan politik, pelecehan sosial, pelecehan hukum, pelecehan ilmiah, pelecehan SARA, pelecehan harga diri, dst.. Dan tentu saja pelecehan terhadap pelecehan itu sendiri. Yakni kondisi merendahkan, menghina, sinis, tak mau tahu, ketika  melihat atau menden­gar ada kejadian pelecehan.

Tanpa bermaksud menafikan jenis pelecehan lain, di antara berbagai jenis pelecehan itu, sejauh ini, hanya pelecehan agama dan politik yang berpeluang besar menjadi serius. Memang, jenis pelecehan seksual sempat mengharubirukan diskursus dialogis di berbagai pembicaraan resmi maupun perbincangan sehari-hari. Tapi, tampaknya jenis pelecehan ini tetap berjalan, tanpa menimbulkan kegemparan yang berarti.

Yang menarik bukan mengidentifikasi jenis pelecehan, tetapi justru kerancuan batas pelecehan.  Kapan sebuah pelecehan dianggap betul-betul dalam konteks poli­tik/agama. Kapan hanya sekadar guyon, isu, rumor, atau bahkan sekadar taktik. Kapan harus ditanggapi serius, kapan tidak. Yang merisaukan, ketika konteks dan kata pelecehan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Yakni ketika budaya pelecehan dikooptasi sedemikian rupa oleh sistem kekuasan, dan dalam rangka kepentingan serta rakayasa politik tertentu pula. Caranya beragam; ada yang kita namakan provokasi, atau sebaliknya, karena tidak tahu kita menamakannya high politic. Salah satu cara misalnya, dengan mengembangkan pernyataan-pernyataan strategis dan tendensius.

Dalam hal ini media (komunikasi) massa, memainkan peranan penting. Karena hampir semua informasi (baca:isu) tak luput dari jamahan media pers. Sayangnya, dalam penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat seperti yang kita alami ini, media komunikasi massa mana yang tidak terkontrol dan terkontaminasi? Apalagi yang tidak bermaksud untuk sedikit sensasional.

* * *
Sebelum beranjak sampai sejauh mana budaya pelecehan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tidak ada salahnya mempertanyakan mengapa satu jenis pelece­han mampu memancing emosi massa hingga menyebabkannya melakukan tindakan politik.

Seperti diketahui, "kebudayaan Indonesia" secara keseluruhan dibesarkan dalam tradisi rasa. Maksudnya, suatu kecenderungan budaya yang lebih mementing­kan dan mengutamakan dimensi-dimensi batiniah, estetika, keselarasan, keharmoni­san, tenggang rasa, tepo seliro, religiusitas, dan hal lain yang secara sederhana biasanya disebut sesuatu yang bersifat "emosional".

Entah kenapa, daerah paling rawan dari wilayah itu adalah sesatu yang berbau agama. Mungkin karena agamalah (aspek religiusitas) yang dengan setia bersenyawa secara ketat dengan wilayah rasa. Wilayah ini pada sisinya yang lain sangat berwa­jah politis atau paling tidak dipolitisir.

Sebagai akibatnya, dalam banyak kejadian orang Indonesia lebih mendahulu­kan aspek "emosi"-nya dari pada berpikir jernih melihat berbagai persoalan. Untuk menyebutkan sebuah contoh menonjol, kita memakai istilah unjuk rasa untuk segala sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demonstratif. Kejadian unjuk rasa di negeri kita ini, sungguh terlalulah seringnya. Dari situ, tanpa berprasangka buruk terhadap penyelenggaraan sistem kekua­saan dan kepentingan politik tertentu, ada kemungkinan aspek emosi massa tersebut diskenario dan digembalakan untuk siap dimanfaatkan dan dipakai bila mana diper­lukan.

Tentu saja tidak perlu dituding kasus per kasus. Apakah itu berkaitan dengan unjuk rasa para buruh, aktivis-aktivis LSM, demonstrasi di kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga atau ormas-ormas resmi. Kasusnya juga bermacam-macam, apakah itu berkaitan dengan pelanggaran HAM, kebebasan akademik, atau jenis tragedinya Salman Rusdi dengan Ayat-ayat Setan-nya, Arswendo dengan Monitornya, dan "ramalan" politik Permadi yang juga sempat menghebohkan. Pada masa reformasi (transisi), tak perlulah dibahas bagaimana unjuk rasa telah menjadi mode yang membahana.

* * *
Pernyataan di atas, ingin menegaskan bahwa bisa jadi memang ada peristiwa "kseleo lidah/ucapan" tanpa sungguh-sungguh menyatakan hal tersebut dengan sepenuh hati. Dan mungkin dengan maksud sekadar mengemukakan isu agar menar­ik perhatian. Namun, ketika ada pihak-pihak yang berangkali kurang bahagia mendengar Si Pengucap terseleo, itulah saatnya perseleoannya digiring dalam wacana agama dan atau politik.

Ketika persoalan masuk ke dalam wacana itu, maka seolah-olah semua menjadi serius. Seolah jika tidak dipersoalkan dan dituntaskan, dunia akan berhenti berputar. Masyarakat akan kacau, akan terjadi kegemparan-kegemparan yang mengakibatkan dunia ini segera kiamat.

Sayangnya, memang belum ada contoh yang cukup memadai jika suatu prob­lem pelecehan dibiarkan saja. Apakah kemudian terjadi seperti yang kita bayangkan dengan kengerian. Bukankah iklim terasa menjadi panas ketika ia dipersoalkan, digiring ke wacana politik/agama, kemudian terjadi unjuk-unjuk rasa.

Muncul pertanyaan lain, apakah jika tidak mempersoalkan persoalan pelecehan kita mengalami kemunduran. Atau sebaliknya dengan memperkarakannya negara kita ini menjadi lebih meningkat GNP-nya, dengan ukuran tertentu dapat disebut menjadi lebih maju. Apakah tidak mungkin, misalnya, membiarkan pelecehan seba­gai rahasia umum. Sejauh ini tidak pernah sebuah bangsa kocar-kacir hanya ketika  sebuah isu pelecehan menjadi rahasia umum.

Toh, sebetulnya kita juga sudah cukup terlatih dan terbiasa bermain-main dengan isu-isu, terlepas dari penting atau tidak, terhadap rahasia umum. Kalau akhirnya selalu didiskusikan, tidak lebih menjadi pembicaraan tingkat "warung kopi". Pada gilirannya, dia akan terbenam dengan sendirinya sesuai dengan bergu­lirnya sang waktu.

Tidakkah di lain pihak mempermasalahknan seperti kasus Permadi pada paruh kedua 1990-an, hanya akan meruwetkan hal-hal yang sebetulnya tidak ruwet. Coba­lah sekali-kali diramal sendiri, tidakkah kalau seandainya didiamkan saja, tidak akan berubah menjadi kasak-kusuk yang berarti. Di sinilah, mau tak mau timbul prasang­ka-prasangka. Jangan-jangan kejadian sejenis memang sengaja dibesar-besarkan.

Namun, dalam hal ini perlu pula diakui, tidak demikian halnya bagi kepentin­gan politik tertentu. Ada angle-angle yang sengaja dipantau dan ditunggu secara terus menerus yang diharapkan bisa menjadi pemicu bagi tendensi politik yang lain. Apakah itu establisasi kekuasaan, pengalihan konsentrasi dan perhatian, atau bahkan semata-mata untuk sekadar "hiburan".

Dampaknya, pada akhirnya masyarakat hanya terjebak secara emosional dalam labirin kepentingan-kepentingan. Tanpa berhitung, jika ada pihak yang "menang atau kalah", secara otomatis kita akan kecipratan terhadap kemenangan itu. Jangan-jangan justru selalu menjadi korban.

Lain halnya jika ada satu jenis pelecehan yang jika diperkarakan akan member­ikan "nilai tambah". Agak sulit, memang, memberikan contoh pelecehan seperti itu. Sebagai ilustrasi, Hamzah Fansuri, Hallaj, Syeikh Siti Jenar, dan banyak lagi, paling tidak pernah dianggap melecehkan religiusitas ortodoks. (Lihat beberapa buku berkaitan dengan itu semisal Al-Attas, 1970, Baried, 1985). Memang sempat memakan korban, karena pada akhirnya pelecehan tersebut dimanipulir untuk kepen­tingan politik kekuasaan.

Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri jika berbagai diskusi dan penelitian ten­ tangnya terus berkembang dan memberi perspektif yang signifikan bagi pemahaman kereligiusitasan, pemahaman kespritualitasan, bahkan hingga hari ini. Belajar dari kejadian ini, tidak ada salahnya jika memang ada pelecehan yang dianggap serius, artinya si peleceh menuliskan atau berucap dengan argumentasi yang bisa dipertang­gungjawabkan secara "ilmiah", maka ditanggapi secara "ilmiah" pula.

Jadi, jangan sampai terjadi pertengkaran dan perkelahian hanya karena secara kebetulan ada orang ngelindur. Dan kita heboh!. * * *

MENGGILIR DAN GILIRAN




Alangkah seriusnya sebuah kata bernama gilir. Pada sebuah media massa tertu­lis berita demikian; Rebutan Menggilir, Seorang Teman Ditusuk. Kita tahu, urusan menggilir di sini tentulah urusan memperkosa atau bergantian menyenggamai (secara paksa) seorang wanita. Sebetulnya bukan perkosaan itu sendiri yang membuat ada penusukan, tetapi justru urusan siapa dulu yang berhak melampiaskan nafsu seks. Tujuan pemuasan menghalalkan segala cara.

Jadi, kata menggilir, hampir dapat dipastikan berhubungan dengan sesuatu secara berganti-ganti, khususnya memuaskan hawa nafsu seksual terhadap korban sasaran. Tentu ia bisa berubah arti jika konteksnya juga berubah. Misalnya, dalam kehidupan ekonomi dan politik, tidak jarang kita saling sikut dan bahkan membunuh untuk berebut giliran saling mendahului (Maka ada tulisan: Sesama Bis Kota Dilar­ang Saling Mendahului).

Sekali lagi, hal penting dari kata menggilir adalah adanya kandungan arti bergantian, semacam antri. Sesungguhnya, urusan inilah yang menjadi inti permasa­lahan dan sekaligus sangat merepotkan. Berita di atas, sehingga terjadi penusukan, hanya soal siapa yang lebih dulu menggilir jika dalam segi apapun kedudukan yang akan menggilir sama. Dalam berita itu kita dapat pelajaran bahwa yang paling berhak menggilir duluan adalah yang paling kuat, yang paling berani, dan tentu yang paling bernafsu.

Dimensi lain dari kandungan menggilir adalah memuaskan hawa nafsu. Dalam berita tersebut tentu hawa nafsu seks. Tetapi yang namanya hawa nafsu bermacam- macam, hawa nafsu berkuasa, hawa nafsu makan dan minum, hawa nafsu kaya, hawa nafsu amarah, dan sebagainya.

Artinya, jika aspek penting dalam menggilir itu adalah giliran, bergantian, maka alangkah penting pula untuk bergantian dalam hal berkuasa, dalam hal menjadi kaya, dalam hal makan minum, atau bahkan sekedar bergiliran melampiaskan amarah. Soeharto dipaksa jatuh, karena pada dasarnya dia tidak mau bergiliran menjadi penguasa. Kalau dia tahu bahwa ada kata yang bernama giliran, tentu ia tidak dipaksa tumbang.

Perut dan kerongkongan juga perlu mendapat giliran kenyang dan lapar, atau haus dan tidak haus. Ini penting dipahami agar orang tidak makan dan minum terus karena jika itu terjadi maka perut kita akan protes, dan bisa jadi kita terbunuh kare­nanya. Orang perlu menggilir kapan harus makan dan minum agar kita dapat mera­sakan nikmatnya makan dan minum.

* * *
Dengan begitu, menggilir atau giliran itu hampir semacam hukum alam. Bahwa satu peristiwa yang sama, satu konteks yang sama, satu saat yang sama, tidak dapat terjadi secara bersamaan. Pastilah akan terjadi kekacauan jika satu kata saja maunya diucapkan secara bersamaan. Kata tersebut menjadi tidak dapat dimengerti karena ia tidak menjadi kalimat. Jadi esensi kalimat adalah menggilir kata-kata dalam sebuah struktur alur. Bagaimana struktur tersebut dibangun, itu urusan kon­vensi. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, ada yang kemudian menjadi Subjek, Predikat, Objek, Keterangan, dan sebagainya.

Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang perlu ditekankan bahwa yang namanya menggilir dan giliran itu merupakan hukum alam di satu pihak, dan di lain pihak dalam mempraktikannya ada aturan mainnya, ada konvensinya. Sebagai hukum alam sistem giliran merupakan sesuatu yang tidak dapat ditentang. Kalau dilanggar maka akan kacaulah dunia. Sebagai contoh, setelah siang, giliran malam. Jadi, waktu pun memiliki ketertiban sendiri untuk saling menggilir.

Dengan demikian, bergilir dalam konteks hukum alam berkaitan pula dengan ketertiban bagaimana sesungguhnya dunia dan alam semesta ini tertata sedemikian rupa agar saling memahami, saling mengerti fungsinya masing-masing, saling mengerti kapan dia harus berperan, harus maklum terhadap giliran masing-masing. Dia adalah sesuatu yang natural.

Sebaliknya, bergiliran yang berkaitan dengan aturan main sesuai dengan kenvensi lebih semacam sesuatu yang bersifat kultural. Dia merupakan konstruksi sosial yang pada awalnya merupakan akal-akalan manusia belaka. Boleh dilanggar sejauh itu tidak merugikan, dan sebaiknya tidak perlu dilawan jika memang hal tersebut merupakan yang terbaik.

Contoh yang tidak perlu ditentang, bahkan sebaiknya dipelihara adalah budaya antri. Tapi, sekali lagi, di sini pula repotnya. Kita adalah sebuah bangsa yang paling tidak tahu aturan main peradaban dan berkebudayaan. Maunya selalu yang pertama, yang nomor satu, yang didahulukan. Sebagai akibatnya, untuk mendapatkan yang harus didahulukan, kita menempuh segala macam cara. Kalau perlu dengan cara kolusi, nyogok, dan sebagainya.

Kalau kolusi, tentu ada perjanjian tertentu yang ilegal. Yang namanya ilegal selalu adalah sebuah kejahatan. Demikian juga jika nyogok, tentu butuh dana. Kemudian, kita mencari sejumlah dana dengan berbagai cara. Cara termudah tentu­lah dengan cara korupsi. Korupsi memang mengandung resiko. Tapi, di lain pihak kita pun tahu bahwa di negeri kita ini korupsi tidak dapat dituduhkan begitu saja. Kalau bisa dituduh dan menjadi tersangka, belum tentu dapat dibuktikan. Belum tentu masuk penjara, atau mungkin belum apa-apa sudah dimaafkan.

Akhirnya hukum memang sulit ditegakkan. Apalagi jika di dalamnya ada unsur keluarga. Kalau tidak ada unsur keluarga, paling tidak diselesaikan secara kekeluar­gaan. Memang sama-sama memakai kata keluarga. Tapi dimensinya berbeda. Jika yang pertama nopotisme, maka yang kedua justru menghindari hukum. Sekali lagi hukum tidak bisa ditegakkan. Sistem giliran tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya. Alhasil, budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme berjalan terus.

Berkaitan dengan itu, kita perlu menduga bahwa krisis yang sedang terjadi di negeri kita ini jangan-jangan karena kita tidak tahu hukum alam dan konvensi bagaimana caranya menggilir, giliran, atau bahkan sekadar bergilir.
* *  *
Jika berbuat maksiat perlu giliran, apakah untuk berbuat baik juga perlu saling menggilir? Atau jika pertanyaannya dirubah, apakah ada mekanisme giliran yang perlu, bisa, atau justru sebaiknya dilanggar? Sayang mungkin jawabannya bisa seba­liknya.

Saya mendapat cerita dari Mas Abdul Munir Mulkhan bagaimana ketika ia naik haji orang saling berebut untuk mencium hajar aswat. Karena nafsu "untuk mendapatkan pahala yang besar", orang saling berusaha keras, dan tidak jarang harus mengorbankan orang lain, agar mendapat kesempatan tersebut. Di mata Munir hal tersebut dirasakan sangat egois dan "tak berperikemanusiaan". Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk tidak saling berebut dan bersikut, hanya untuk berbuat kebaji­kan itu.

Tapi mana tahu pandangan tersebut terlalu subjektif. Karena bisa saja tidak semua orang menganggap bahwa saling berpacu tersebut menjadi perbuatan yang tidak berprikemanusiaan. Apalagi jika menyadari bahwa kesempatan untuk berbuat baik sedapat mungkin harus disegerakan. Tuhan pun berkata berpaculah dalam kebaikan, tidak perlu antri, tidak perlu menunggu giliran, karena kalau menunggu giliran, kita tidak pernah tahu apakah akan masih ada kesempatan.

Di samping itu, ilustrasi tersebut mungkin juga berlebihan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, siapa yang mau menjadi perlopor untuk berbuat kebaikan jika  tidak saling mendahului. Karena kalau tidak saling mendahului, fre­kuensi terjadinya kebaikan akan terus kalah dengan frekuensi perbuatan buruk.
Kita sedang berpacu dengan perbuatan yang tidak baik, dalam arti, jika dalam perbuatan menggilir perempuan saja, karena ingin saling mendahului, seseorang tega menusuk manusia lain, maka kalau semangat berbuat baik tidak seperti itu, tentulah akan terus kalah bersaing dulu-duluan. Frekuensi kecepatannya kalah jauh. Sudahlah pasti, untuk berbuat kebaikan kita tidak harus saling menusuk. Karena, apa kita gila? * * *

Rabu, 25 April 2012

POLITIK PORNO


Oleh Aprinus Salam

Porno itu hampir identik dengan seksualitas dari sisinya yang mengandung kemesuman. Atau porno itu wajah lain dari seks mesum. Tidak ada porno jika di dalamnya tidak bernafaskan sesuatu yang berbau seksualitas. Mungkin itu pula sebabnya porno itu menarik dan sekaligus paradoksal. Menarik bukan karena ia bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tapi karena ada kenikmatan di dalamnya.

Mengapa dikatakan paradoksal? Karena kita "terpaksa" menolaknya, mungkin karena dianggap dapat merusak akhlak, sementara diam-diam kita menikmati dan melahapnya. Di satu pihak ada yang mengatakan tidak etis, vulgar, dan jorok, di lain kesempatan kita mengatakannya estetis. Ada yang mengatakannya itu hanya sekadar mengalihkan perhatian, tetapi tidak kurang pula yang mengatakan bahwa kepornoan sebagai cerminan kondisi psiko-sosiologis masyarakat. Ada yang mengatakan seka­dar iseng, tidak kurang pula yang memanfaatkannya sebagai aset bisnis yang besar. Dan seterusnya.

Sebetulnya, kepornoan terjadi bukan karena seks yang buka-bukaan, tetapi karena seks dibuka-buka bukan pada tempat dan waktu yang tepat. Dari situ kita tahu, bahwa yang kita tolak adalah sesuatu yang tidak pada waktu dan tempatnya. Artinya, bukan saja soal seks yang menjadi porno, tetapi apapun yang dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi sesuatu yang berlebihan dan tidak benar.

Jadi, bukan saja soal seks. Persoalan rumah tangga jika dibawa-bawa ke luar, ia menjadi aib. Sebaliknya, persoalan publik yang seharusnya dibicarakan secara terbuka, transparan, namun jika dibicarakan dan diselesaikan di belakang layar secara terselubung, ia menjadi kolusi. Uang negara atau rakyat yang seharusnya dapat diberdayagunakan bersama demi kemanusiaan dan pembangunan, misalnya, tetapi ketika secara sembunyi-sembunyi diambil untuk dinikmati sendiri dan keluar­ga, itu namanya korupsi. Dan sebagainya. 

* * *
Bukan berarti seks harus ditutup sedemikian rapat sehingga jika dibuka sedikit saja ia menjadi porno. Karena jika itu yang terjadi, sebetulnya kita juga tidak menga­jarkan secara baik kepada mereka yang berhak mengenalnya. Bukan berarti masyar­akat yang tidak mengenal seks yang dibuka-buka secara vulgar otomatis adalah masyarakat yang berakhlak. Demikian sebaliknya, kita tidak dapat mengatakan ketika sebuah negara menghalalkan pornografi lantas masyarakatnya dinilai berakh­lak rendah. Semua serba bergantung.

Ini hanya persoalan aturan main, dan bagaimana kita memainkan secara konsis­ten dan bertanggung jawab terhadap aturan main tersebut. Aturan main yang dimak­sud tidak lain peraturan bahwa semua hal menuntut untuk ditempatkan pada tempat dan waktu yang sesuai, yang proporsional. Berkehidupan sesuai dengan aturan main tersebutlah nilai-nilai kehidupan dapat terpelihara. Kita percaya bahwa konvensi- konvensi nilai maupun norma pada dasarnya adalah sejumlah aturan main yang sebaiknya diberlakukan bersama.

Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak mengetahui aturan main tersebut. Sebagai bangsa kita terlanjur dibesarkan dalam sejarah yang centang perenang, dalam sejarah yang mengajarkan kita agar terbiasa dengan sejumlah pelanggaran- pelanggaran, dalam sejarah yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai contoh terdekat saja adalah sejarah Orde Baru. Bagaimana dalam sejarah Orba tersebut kita diajarkan bahwa banyak hal tidak berjalan sesuai dengan ruang dan waktu yang sesuai. Penyelenggaraan hukum diperlakukan seenaknya, tidak berdasarkan aturan main yang seharusnya. Kekuasaan diperlakukan bukan demi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang baik, tetapi justru dimanfaatkan demi pelanggengan kekuasaan itu sendiri. Pelaksanaan pendidikan bukan dalam rangka idealisme ilmiah dan intelektual, tetapi sebagian besar justru dalam kerangka bisnis belaka, dan lain-lain.

Sebagai akibatnya, sebetulnya masyarakat hanya saling belajar dan saling menirukan. Seksualitas adalah salah satu entitas yang dapat dijadikan semacam eksperimen untuk dimani-mainkan. Kalau kebetulan tidak menimbulkan masalah, dia adalah aset. Namun, jika menimbulkan masalah, banyak persoalan lain yang dapat dituntut sehingga persoalan porno tampaknya bukan hal terlalu penting untuk ditin­ daklanjuti sesuai dengan hukum atau aturan main yang berlaku.

Maka dapat dimaklumi bahwa pihak-pihak yang dituduh atau terlibat melaku­kan "pornografi" memiliki sejumlah alasan bahwa apakah kegiatan mereka betul- betul melanggar hukum, betul-betul merugikan negara dan masyarakat, betul-betul dapat merusak akhlak, dibandingkan  mereka yang terbukti melakukan korupsi milyaran atau bahkan triliunan, tetapi kenyataannya bisa bebas berkeliaran. Belum lagi sejumlah alasan yang berkaitan dengan definisi dan tafsir seputar kepornoan itu sendiri.

* * *
Itulah sebabnya, dalam perspektif tertentu saya ingin mengatakan bahwa kita dapat belajar dari kasus kepornoan justru untuk proses-proses demokratisasi. Seperti halnya demokrasi dan demokratisasi, adalah proses ketika masyarakat diberi kesem­patan sepenuhnya untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk menentukan pilihan- pilihannya sendiri, untuk hidup bebas tanpa tekanan, saling percaya, sesuai dengan hak-hak kemanusiaan yang seharusnya dimilikinya.

Tentu saja proses untuk menuju kehidupan demokratis tersebut ada aturan mainnya pula. Salah satu tuntutan tersebut adalah bagaimana menempatkan kriteria atau nilai-nilai demokratis yang terdapat dalam dirinya sesuai dengan prinsip ketepa­tan tempat dan waktunya. Jika itu dilanggar, yang terjadi bukan demokrasi, tetapi mengarah pada anarkis dan otoriter. Misalnya, memaksakan terjadinya perbedaan pilihan sebagai hal yang lebih penting daripada kemungkinan bahwa ada hal-hal tertentu yang dapat diterima bersama, walaupun hal tersebut bukan pilihan terbaik bagi seseorang yang berbeda pendapat.

Hal lain yang penting bagi proses demokratis adalah bahwa proses tersebut cenderung menutut sesuatu yang alamiah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan alamiah  adalah suatu proses yang berjalan tanpa harus dipaksakan, tanpa harus diatur dan direkayasa sedemikian rupa. Biarkan "seleksi alam", yang perlahan tapi pasti, menyeleksi terus menerus mana yang penting mana yang tidak, mana yang sesuai dengan kebutuhan mana yang tidak, mana yang sesuai dengan kehidupan kemanusiaan yang wajar, membebaskan, dan mana yang tidak, dan sebagainya, bagi masyarakat bersangkutan.

Demikian pula halnya dengan kepornoan. Sebagai satu fenomena, kepornoan, walau dianggap melanggar batas-batas ruang dan waktu yang tepat, tetapi pada perspektif tertentu adalah sebuah pilihan. Fenomena tersebut tidak dapat dijadikan kambing hitam bagi rusaknya kehidpan moral masyarakat. Apakah dengan tidak adanya kepornoan lantas moral masyarakat akan lebih baik?

Di samping itu, beri pula kesempatan kepada masyarakat untuk "menyeleksi" secara bebas pilihan-pilihan terhadap apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkannya. Mungkin, karena selama ini seks secara palsu terkesan ditutup-tutupi, maka ketika ada sedikit kebebasan, seolah-olah sebagian besar masyarakat terkaget-kaget, bahkan dengan berlagu seolah menolaknya. Padahal kita tahu, fenomena pornografi yang ditawarkan media massa tertentu belum apa-apa bila dibanding dengan kepornoan yang ditawarkan seperti kaset video, vcd, stensilan, dan lain sebagainya.

Dan kita tahu sama tahu barang-barang tersebut, bebas berkeliaran dari rumah ke rumah, dari kamar ke kamar siapa saja. Siapapun bisa mengaksesnya. Artinya, peluangnya sama terbukanya dibandingkan majalah atau tabloid yang menawarkan gambar-gambar vulgar.

Memang, secara moral pemerintah bertanggungjawab untuk memaksimalkan tegaknya kehidupan moral yang lebih baik. Tetapi, dengan dibiarkannya kasus-kasus lain yang tidak kalah lebih memalukan daripada sekadar kepornoan, bisa jadi teguran atau peringatan pemerintah merupakan formalitas belaka. Jika itu yang terjadi, maka sebetulnya moral kita secara keseluruhan betul-betul sudah parah. Kasus porno saja dipolitisir sedemikian rupa, hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mudah- mudahan perkiraan tersebut salah. * * *

MABUK MISKIN

Oleh Aprinus Salam

Kalau benar yang mengakibatkan sejumlah kecelakaan kendaraan di berbagai jalan Indonesia, karena supir dalam keadaan mabuk, maka menarik ketika kemabukan, untuk kesekian kalinya, masih dijadikan angle berita dan cerita. Apalagi ketika kemabukan dijadikan semacam kotak hitam, yang dengannya persoalan menjadi lebih jelas dan pada saatn­ya diharapkan berperan sebagai titik ujung bagi upaya-upaya penyelesaian.

Padahal, apakah persoalannya sesederhana itu? Bahwa sebetulnya kemabukan bukan soal kambing hitam atau kambing putih. Ia bagian integral dari keniscayaan- keniscayaan fisikal, psikologis, sosial, politik, ekonomi, dan kehidupan itu sendiri. Bahkan saya ingin mengatakan bahwa yang terjadi adalah sebagian besar masyarakat kita sedang mengalami mabuk miskin. Suatu kondisi mabuk karena minum dan makan kemiskinan.

* * *
Mabuk, adalah suatu kondisi ketika kesadaran tidak berada dalam kondisi sewajarnya, seperti ketika seharusnya seseorang dalam kondisi normal sehat. Jenis dan sebab mabuk pun bermacam-macam. Ada yang disebabkan minuman (keras) yang biasa kita sebut sebagai mabuk dalam pengertian aslinya. Ada juga karena memasukan sesuatu ke tubuh seperti pil (dalam berbagai bentuknya), atau menyun­tikkan sesuatu ke tubuh, dll. Akibat kasus kedua biasa kita sebut teler.

Ada juga jenis mabuk karena "kemasukan roh", seperti pada beberapa jenis kesenian tradisional. Kadang-kadang kita juga menyebut hal itu mabuk (bhs Jawa: ndadi), atau barangkali lebih tepat jika disebut trance.

Kemudian peristiwa mabuk mengalami pelebaran signifikan, seperti mabuk darat, mabuk laut, mabuk udara, mabuk kepayang, mabuk asmara, mabuk harta, mabuk kekuasaan, bahkan mabuk-mabukan. Dalam kehidupan beragama kita men­genal istilah mabuk Tuhan. Saya akan mempersoalkan mabuk dalam pengertiannya yang agak negatif. 

Tetapi, hal yang paling parah adalah mabuk miskin. Orang mengalami ketidasadaran karena kemiskinan yang terus menerus sehingga banyak hal yang dilakukannya di luar kesadarannya.

Sebab teknis kemabukan relatif bermacam-macam. Ada yang barangkali sekadar ikut-ikutan/iseng, frustasi, atau kecewa terhadap suatu hal. Tidak tertutup kemungkinan sebagai bagian dari mata pencarian (untuk beberapa kesenian tradi­sional). Namun, secara umum kita sering merumuskannya sebagai suatu peristiwa ketika seseorang atau sekelompok orang ingin "menolak" realitas yang sedang dialaminya, jika ia dalam keadaan normal-waras. Mabuk menjadi sebuah pelarian ke dunia kesendirian, dan sebagainya.

Cara itu yakni dengan menciptakan kesadaran semu sehingga seseorang atau sekelompok orang itu seolah-olah tidak dalam situasi dan kondisi yang mereka tolak. Terlepas dari mabuk itu mungkin menyenangkan dan menagihkan, ketika seseorang/sekelompok orang sadar bahwa ternyata realitas yang mereka tolak tidak berubah, maka peristiwa mabuk menjadi alternatif yang berpeluang besar untuk diulang-ulang.

Ada satu hal lain yang perlu ditegaskan bahwa seseorang ketika dalam keadaan mabuk sering tidak sadar/tidak tahu bahwa ia dalam kondisi mabuk. Pada umumnya orang lain yang tidak mabuk yang mengatahuinya. Logika itu sekaligus memberikan pengertian bahwa dalam dunia mabuk, orang yang waras yang dianggap mabuk.

* * *
Persoalannya adalah realitas seperti apa yang menyebabkan seseorang memilih "lari", sehingga memberi alasan untuk memilih kemabukan sebagai upaya jalan ke luar. Dalam konteks inilah mau tidak mau kita harus melihat berbagai kenyataan sosial, ekonomi, politik, dll, yang kita alami bersama.

Mengikuti penjelasan di atas, konsep penting dari fenomena mabuk adalah, pertama, ada jenis mabuk yang memang merupakan terganggunya kesadaran secara fisik (mabuk karena minuman dan teler) dalam rangka menolak realitas. Sebagai contoh, karena frustasi, karena tekanan ekonomi. Saya menamakannya "mabuk fisikal". Jenis mabuk ini lebih bersifat mabuk-mabukan dan temporal.

Kedua, kemungkinan seseorang mabuk untuk suatu hal yang sangat digandrun­ginya secara berlebihan sehingga secara sadar atau tidak seseorang berusaha menca­pai kondisi itu. Misalnya, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dll. Pada peristiwa ini saya sebut sebagai "mabuk psikososial". Mabuk pada kondisi ini memang sunggu­han, dan bisa jadi berkelanjutan. Orang dalam peristiwa ini mungkin secara fisik sehat, tetapi kesadarannya tidak dalam kondisi sewajarnya. Kita sering menyebutnya ada yang tidak beres dalam dirinya. Implikasi dari dua jenis mabuk itu juga bervariasi dan berbeda-beda. Saya mulai dari jenis mabuk kedua. Karena saya anggap lebih serius, dan pada tingkat tertentu justru menyebabkan kemabukan jenis pertama.

* * *
Kalau kita sepakat bahwa memang ada peristiwa ketika seseorang mabuk harta, mabuk kekuasaan, mabuk popularitas, sehingga dengannya seseorang mencoba meraih keinginan berlebihan itu dengan segala cara, maka jujur sajalah kita bahwa alangkah banyak orang-orang di sekitar kita, bahkan kita sendiri, yang sesungguhnya sedang mabuk.

Manifestasi dari usaha untuk memenuhi kegandrungan itu tentu bermacam- macam pula. Tetapi dasar dalam keadaan mabuk, yang relatif tidak sadar bahwa kita sesungguhnya dalam keadaan mabuk, terlihat bahwa semuanya seolah-olah memang dimikian sewajarnya.

Misalnya, manifestasi dari kemabukan terhadap kekuasaan tercermin dari reali­tas politik kita. Mengapa politik? Karena realitas itulah yang paling memungkinkan untuk mewujudkan apa yang diidam-idamkan. Dari itu, yang terjadi adalah ketika kehidupan politik sangat diperalat demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelom­pok. Politik tidak lagi menjadi media bagi tujuan yang mulia untuk membangun tatanan masyarakat dan bernegara secara lebih baik.

Sejalan dengan itu, manifestasi dari kemabukan terhadap harta tampak dari kehidupan berekonomi, misalnya. Pada dasarnya kedua aspek tersebut berjalan dengan amat paralel. Sebagai akibatnya, yang terjadi adalah realitas ekonomi dan politik yang menekan, eksploitatif, brutal, semau gue, dan kondisi lain sejenis. Konkritnya, kita mengenal istilah yang kaya tambah kaya, yang miskin tetap miskin. Atau yang berkuasa semakin berkuasa, yang tertindas semakin terlindas.

Kondisi ini pada gilirannya menciptakan ketegangan, kepalsuan, ketimpangan yang akut. Jika berlanjut, bagi mereka yang ternyata tidak mempu bersaing, katakan­lah yang menjadi korban dari jenis mabuk yang sungguhan itu, maka kondisi itu menskenario kemabukan-kemabukan lain sebagai bentuk "perlawanan/penolakan" terhadap berbagai kepalsuan dan ketimpangan.

* * *
Mabuk yang kita bicarakan, dalam perspektif apapun mungkin tidak begitu diterima. Artinya, apapun alasan pengendara kendaraan itu sehingga ia harus mabuk adalah pilihan yang salah. Karena ia telah mengambil resiko dengan memper­judikan puluhan nyawa.

Seperti halnya maling atau korupsi. Korupsi sepuluh ribu rupiah dan atau korupsi sepuluh milyar tetap namanya korupsi. Alasan apapun yang menyebabkan seseorang korupsi kita anggap sebagai pilihan yang tidak benar.

Persoalannya bukan terletak pada korupsi. Tetapi bagaimana kita menyikapi tindak korupsi itu, sehingga dengannya kita berlaku adil, arif dan bijaksana. Mak­sudnya, jangan kemudian yang terjadi adalah maling ayam dipukuli hingga babak belur dan dipenjara, sementara maling-maling besar justru masih bergentayangan dengan bebasnya. 

Sama halnya ketika kita harus menyikapi peristiwa mabuk. Prinsip yang menjadi persoalan bukan pada kemabukan itu sendiri, lebih-lebih bagaimana kita menyikapi peristiwa mabuk dengan jujur dan berani. Kita tidak berani bersikap terbuka kepada orang-orang yang sesungguhnya dalam kondisi "mabuk psikososial", yang justru memakan korban lebih besar. Namun, ketika kita menemukan ada orang mabuk karena frustasi rakyat kecil, yang kebetulan juga memakan korban, kita menghakiminya habis-habisan.

Jadi, jangan semata-mata salahkan mereka yang mabuk pada tingkat pertama di atas. Walau mereka tetap salah, kasihani dan bela mereka. Karena, mana tahu sebe­tulnya (suatu ketika) kita senasib seperti dialami mereka yang mabuk miskin itu. 

Di atas semua itu, justru mabuk karena kemiskinanlah yang perlu kita hindari. Mudah-mudahan tidaklah.... * * *