Apakah pelecehan itu sungguh serius?
Ada apa di balik pelecehan sehingga tidak jarang membuat kita menjadi goncang,
ramai, sibuk, dan emosional?
Tidak diketahui secara pasti kapan
tepatnya istilah pelecehan itu digunakan, khususnya di Indonesia. Kalau tidak
salah istilah itu mulai go public dan
merebak lebih dalam konotosi pelecehan seksual. Yaitu suatu kondisi ketika
telah terjadi "pengusikan", baik sengaja atau tidak, terhadap harga
diri , martabat, dan eksistensi kewanitaan yang, biasanya dilakukan oleh kaum
maskulin.
Tapi kemudian istilah tersebut
mengalami pelebaran dan penganalogian makna. Untuk segala peristiwa/perkataan
yang sifatnya merendahkan, menghina, menghujat, ngenyek, guyon, gojeg, kritik,
"bertanya", jika tidak berkenan bagi pihak tertentu, maka orang itu
dianggap telah melakukan pelecehan. Oleh karenanya, ia pantas dituntut,
dihukum, atau dibunuh.
* * *
Itulah sebabnya, kita mengenal
istilah, di samping di atas, pelecehan politik, pelecehan sosial, pelecehan
hukum, pelecehan ilmiah, pelecehan SARA, pelecehan harga diri, dst.. Dan tentu
saja pelecehan terhadap pelecehan itu sendiri. Yakni kondisi merendahkan,
menghina, sinis, tak mau tahu, ketika
melihat atau mendengar ada kejadian pelecehan.
Tanpa bermaksud menafikan jenis
pelecehan lain, di antara berbagai jenis pelecehan itu, sejauh ini, hanya
pelecehan agama dan politik yang berpeluang besar menjadi serius. Memang, jenis
pelecehan seksual sempat mengharubirukan diskursus dialogis di berbagai
pembicaraan resmi maupun perbincangan sehari-hari. Tapi, tampaknya jenis
pelecehan ini tetap berjalan, tanpa menimbulkan kegemparan yang berarti.
Yang menarik bukan mengidentifikasi
jenis pelecehan, tetapi justru kerancuan batas pelecehan. Kapan sebuah pelecehan dianggap betul-betul
dalam konteks politik/agama. Kapan hanya sekadar guyon, isu, rumor, atau
bahkan sekadar taktik. Kapan harus ditanggapi serius, kapan tidak. Yang
merisaukan, ketika konteks dan kata pelecehan lebih dimanfaatkan untuk
kepentingan politik tertentu. Yakni ketika budaya pelecehan dikooptasi
sedemikian rupa oleh sistem kekuasan, dan dalam rangka kepentingan serta
rakayasa politik tertentu pula. Caranya beragam; ada yang kita namakan
provokasi, atau sebaliknya, karena tidak tahu kita menamakannya high politic.
Salah satu cara misalnya, dengan mengembangkan pernyataan-pernyataan strategis
dan tendensius.
Dalam hal ini media (komunikasi)
massa, memainkan peranan penting. Karena hampir semua informasi (baca:isu) tak
luput dari jamahan media pers. Sayangnya, dalam penyelenggaraan bernegara dan
bermasyarakat seperti yang kita alami ini, media komunikasi massa mana yang
tidak terkontrol dan terkontaminasi? Apalagi yang tidak bermaksud untuk sedikit
sensasional.
* * *
Sebelum beranjak sampai sejauh mana
budaya pelecehan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tidak ada salahnya
mempertanyakan mengapa satu jenis pelecehan mampu memancing emosi massa hingga
menyebabkannya melakukan tindakan politik.
Seperti diketahui, "kebudayaan
Indonesia" secara keseluruhan dibesarkan dalam tradisi rasa. Maksudnya,
suatu kecenderungan budaya yang lebih mementingkan dan mengutamakan
dimensi-dimensi batiniah, estetika, keselarasan, keharmonisan, tenggang rasa,
tepo seliro, religiusitas, dan hal lain yang secara sederhana biasanya disebut
sesuatu yang bersifat "emosional".
Entah kenapa, daerah paling rawan
dari wilayah itu adalah sesatu yang berbau agama. Mungkin karena agamalah
(aspek religiusitas) yang dengan setia bersenyawa secara ketat dengan wilayah
rasa. Wilayah ini pada sisinya yang lain sangat berwajah politis atau paling
tidak dipolitisir.
Sebagai akibatnya, dalam banyak
kejadian orang Indonesia lebih mendahulukan aspek "emosi"-nya dari
pada berpikir jernih melihat berbagai persoalan. Untuk menyebutkan sebuah
contoh menonjol, kita memakai istilah unjuk rasa untuk segala sikap dan tingkah
laku yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demonstratif. Kejadian unjuk
rasa di negeri kita ini, sungguh terlalulah seringnya. Dari situ, tanpa
berprasangka buruk terhadap penyelenggaraan sistem kekuasaan dan kepentingan
politik tertentu, ada kemungkinan aspek emosi massa tersebut diskenario dan
digembalakan untuk siap dimanfaatkan dan dipakai bila mana diperlukan.
Tentu saja tidak perlu dituding
kasus per kasus. Apakah itu berkaitan dengan unjuk rasa para buruh,
aktivis-aktivis LSM, demonstrasi di kampus-kampus, maupun lembaga-lembaga atau
ormas-ormas resmi. Kasusnya juga bermacam-macam, apakah itu berkaitan dengan
pelanggaran HAM, kebebasan akademik, atau jenis tragedinya Salman Rusdi dengan
Ayat-ayat Setan-nya, Arswendo dengan Monitornya, dan "ramalan"
politik Permadi yang juga sempat menghebohkan. Pada masa reformasi (transisi),
tak perlulah dibahas bagaimana unjuk rasa telah menjadi mode yang membahana.
* * *
Pernyataan di atas, ingin menegaskan
bahwa bisa jadi memang ada peristiwa "kseleo lidah/ucapan" tanpa
sungguh-sungguh menyatakan hal tersebut dengan sepenuh hati. Dan mungkin dengan
maksud sekadar mengemukakan isu agar menarik perhatian. Namun, ketika ada
pihak-pihak yang berangkali kurang bahagia mendengar Si Pengucap terseleo,
itulah saatnya perseleoannya digiring dalam wacana agama dan atau politik.
Ketika persoalan masuk ke dalam
wacana itu, maka seolah-olah semua menjadi serius. Seolah jika tidak
dipersoalkan dan dituntaskan, dunia akan berhenti berputar. Masyarakat akan
kacau, akan terjadi kegemparan-kegemparan yang mengakibatkan dunia ini segera
kiamat.
Sayangnya, memang belum ada contoh
yang cukup memadai jika suatu problem pelecehan dibiarkan saja. Apakah
kemudian terjadi seperti yang kita bayangkan dengan kengerian. Bukankah iklim
terasa menjadi panas ketika ia dipersoalkan, digiring ke wacana politik/agama,
kemudian terjadi unjuk-unjuk rasa.
Muncul pertanyaan lain, apakah jika
tidak mempersoalkan persoalan pelecehan kita mengalami kemunduran. Atau
sebaliknya dengan memperkarakannya negara kita ini menjadi lebih meningkat
GNP-nya, dengan ukuran tertentu dapat disebut menjadi lebih maju. Apakah tidak
mungkin, misalnya, membiarkan pelecehan sebagai rahasia umum. Sejauh ini tidak
pernah sebuah bangsa kocar-kacir hanya ketika
sebuah isu pelecehan menjadi rahasia umum.
Toh, sebetulnya kita juga sudah
cukup terlatih dan terbiasa bermain-main dengan isu-isu, terlepas dari penting
atau tidak, terhadap rahasia umum. Kalau akhirnya selalu didiskusikan, tidak
lebih menjadi pembicaraan tingkat "warung kopi". Pada gilirannya, dia
akan terbenam dengan sendirinya sesuai dengan bergulirnya sang waktu.
Tidakkah di lain pihak
mempermasalahknan seperti kasus Permadi pada paruh kedua 1990-an, hanya akan
meruwetkan hal-hal yang sebetulnya tidak ruwet. Cobalah sekali-kali diramal
sendiri, tidakkah kalau seandainya didiamkan saja, tidak akan berubah menjadi
kasak-kusuk yang berarti. Di sinilah, mau tak mau timbul prasangka-prasangka.
Jangan-jangan kejadian sejenis memang sengaja dibesar-besarkan.
Namun, dalam hal ini perlu pula
diakui, tidak demikian halnya bagi kepentingan politik tertentu. Ada
angle-angle yang sengaja dipantau dan ditunggu secara terus menerus yang
diharapkan bisa menjadi pemicu bagi tendensi politik yang lain. Apakah itu
establisasi kekuasaan, pengalihan konsentrasi dan perhatian, atau bahkan
semata-mata untuk sekadar "hiburan".
Dampaknya, pada akhirnya masyarakat
hanya terjebak secara emosional dalam labirin kepentingan-kepentingan. Tanpa
berhitung, jika ada pihak yang "menang atau kalah", secara otomatis
kita akan kecipratan terhadap kemenangan itu. Jangan-jangan justru selalu
menjadi korban.
Lain halnya jika ada satu jenis
pelecehan yang jika diperkarakan akan memberikan "nilai tambah".
Agak sulit, memang, memberikan contoh pelecehan seperti itu. Sebagai ilustrasi,
Hamzah Fansuri, Hallaj, Syeikh Siti Jenar, dan banyak lagi, paling tidak pernah
dianggap melecehkan religiusitas ortodoks. (Lihat beberapa buku berkaitan
dengan itu semisal Al-Attas, 1970, Baried, 1985). Memang sempat memakan korban,
karena pada akhirnya pelecehan tersebut dimanipulir untuk kepentingan politik
kekuasaan.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri
jika berbagai diskusi dan penelitian ten tangnya terus berkembang dan memberi
perspektif yang signifikan bagi pemahaman kereligiusitasan, pemahaman
kespritualitasan, bahkan hingga hari ini. Belajar dari kejadian ini, tidak ada
salahnya jika memang ada pelecehan yang dianggap serius, artinya si peleceh
menuliskan atau berucap dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan
secara "ilmiah", maka ditanggapi secara "ilmiah" pula.
Jadi, jangan sampai terjadi
pertengkaran dan perkelahian hanya karena secara kebetulan ada orang ngelindur.
Dan kita heboh!. * * *