Alangkah seriusnya sebuah kata
bernama gilir. Pada sebuah media massa tertulis berita demikian; Rebutan
Menggilir, Seorang Teman Ditusuk. Kita tahu, urusan menggilir di sini tentulah
urusan memperkosa atau bergantian menyenggamai (secara paksa) seorang wanita.
Sebetulnya bukan perkosaan itu sendiri yang membuat ada penusukan, tetapi
justru urusan siapa dulu yang berhak melampiaskan nafsu seks. Tujuan pemuasan
menghalalkan segala cara.
Jadi, kata menggilir, hampir dapat
dipastikan berhubungan dengan sesuatu secara berganti-ganti, khususnya
memuaskan hawa nafsu seksual terhadap korban sasaran. Tentu ia bisa berubah
arti jika konteksnya juga berubah. Misalnya, dalam kehidupan ekonomi dan
politik, tidak jarang kita saling sikut dan bahkan membunuh untuk berebut
giliran saling mendahului (Maka ada tulisan: Sesama Bis Kota Dilarang Saling
Mendahului).
Sekali lagi, hal penting dari kata
menggilir adalah adanya kandungan arti bergantian, semacam antri. Sesungguhnya,
urusan inilah yang menjadi inti permasalahan dan sekaligus sangat merepotkan.
Berita di atas, sehingga terjadi penusukan, hanya soal siapa yang lebih dulu
menggilir jika dalam segi apapun kedudukan yang akan menggilir sama. Dalam
berita itu kita dapat pelajaran bahwa yang paling berhak menggilir duluan
adalah yang paling kuat, yang paling berani, dan tentu yang paling bernafsu.
Dimensi lain dari kandungan
menggilir adalah memuaskan hawa nafsu. Dalam berita tersebut tentu hawa nafsu
seks. Tetapi yang namanya hawa nafsu bermacam- macam, hawa nafsu berkuasa, hawa
nafsu makan dan minum, hawa nafsu kaya, hawa nafsu amarah, dan sebagainya.
Artinya, jika aspek penting dalam
menggilir itu adalah giliran, bergantian, maka alangkah penting pula untuk
bergantian dalam hal berkuasa, dalam hal menjadi kaya, dalam hal makan minum,
atau bahkan sekedar bergiliran melampiaskan amarah. Soeharto dipaksa jatuh,
karena pada dasarnya dia tidak mau bergiliran menjadi penguasa. Kalau dia tahu
bahwa ada kata yang bernama giliran, tentu ia tidak dipaksa tumbang.
Perut dan kerongkongan juga perlu
mendapat giliran kenyang dan lapar, atau haus dan tidak haus. Ini penting
dipahami agar orang tidak makan dan minum terus karena jika itu terjadi maka
perut kita akan protes, dan bisa jadi kita terbunuh karenanya. Orang perlu
menggilir kapan harus makan dan minum agar kita dapat merasakan nikmatnya
makan dan minum.
* * *
Dengan begitu, menggilir atau
giliran itu hampir semacam hukum alam. Bahwa satu peristiwa yang sama, satu
konteks yang sama, satu saat yang sama, tidak dapat terjadi secara bersamaan.
Pastilah akan terjadi kekacauan jika satu kata saja maunya diucapkan secara
bersamaan. Kata tersebut menjadi tidak dapat dimengerti karena ia tidak menjadi
kalimat. Jadi esensi kalimat adalah menggilir kata-kata dalam sebuah struktur
alur. Bagaimana struktur tersebut dibangun, itu urusan konvensi. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, ada yang kemudian menjadi Subjek, Predikat, Objek,
Keterangan, dan sebagainya.
Berdasarkan keterangan di atas, ada
dua hal yang perlu ditekankan bahwa yang namanya menggilir dan giliran itu
merupakan hukum alam di satu pihak, dan di lain pihak dalam mempraktikannya ada
aturan mainnya, ada konvensinya. Sebagai hukum alam sistem giliran merupakan
sesuatu yang tidak dapat ditentang. Kalau dilanggar maka akan kacaulah dunia.
Sebagai contoh, setelah siang, giliran malam. Jadi, waktu pun memiliki
ketertiban sendiri untuk saling menggilir.
Dengan demikian, bergilir dalam
konteks hukum alam berkaitan pula dengan ketertiban bagaimana sesungguhnya
dunia dan alam semesta ini tertata sedemikian rupa agar saling memahami, saling
mengerti fungsinya masing-masing, saling mengerti kapan dia harus berperan,
harus maklum terhadap giliran masing-masing. Dia adalah sesuatu yang natural.
Sebaliknya, bergiliran yang
berkaitan dengan aturan main sesuai dengan kenvensi lebih semacam sesuatu yang
bersifat kultural. Dia merupakan konstruksi sosial yang pada awalnya merupakan
akal-akalan manusia belaka. Boleh dilanggar sejauh itu tidak merugikan, dan
sebaiknya tidak perlu dilawan jika memang hal tersebut merupakan yang terbaik.
Contoh yang tidak perlu ditentang,
bahkan sebaiknya dipelihara adalah budaya antri. Tapi, sekali lagi, di sini
pula repotnya. Kita adalah sebuah bangsa yang paling tidak tahu aturan main
peradaban dan berkebudayaan. Maunya selalu yang pertama, yang nomor satu, yang
didahulukan. Sebagai akibatnya, untuk mendapatkan yang harus didahulukan, kita
menempuh segala macam cara. Kalau perlu dengan cara kolusi, nyogok, dan sebagainya.
Kalau kolusi, tentu ada perjanjian
tertentu yang ilegal. Yang namanya ilegal selalu adalah sebuah kejahatan.
Demikian juga jika nyogok, tentu butuh dana. Kemudian, kita mencari sejumlah
dana dengan berbagai cara. Cara termudah tentulah dengan cara korupsi. Korupsi
memang mengandung resiko. Tapi, di lain pihak kita pun tahu bahwa di negeri
kita ini korupsi tidak dapat dituduhkan begitu saja. Kalau bisa dituduh dan
menjadi tersangka, belum tentu dapat dibuktikan. Belum tentu masuk penjara,
atau mungkin belum apa-apa sudah dimaafkan.
Akhirnya hukum memang sulit
ditegakkan. Apalagi jika di dalamnya ada unsur keluarga. Kalau tidak ada unsur
keluarga, paling tidak diselesaikan secara kekeluargaan. Memang sama-sama
memakai kata keluarga. Tapi dimensinya berbeda. Jika yang pertama nopotisme,
maka yang kedua justru menghindari hukum. Sekali lagi hukum tidak bisa
ditegakkan. Sistem giliran tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya. Alhasil,
budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme berjalan terus.
Berkaitan dengan itu, kita perlu
menduga bahwa krisis yang sedang terjadi di negeri kita ini jangan-jangan
karena kita tidak tahu hukum alam dan konvensi bagaimana caranya menggilir,
giliran, atau bahkan sekadar bergilir.
* *
*
Jika berbuat maksiat perlu giliran,
apakah untuk berbuat baik juga perlu saling menggilir? Atau jika pertanyaannya
dirubah, apakah ada mekanisme giliran yang perlu, bisa, atau justru sebaiknya
dilanggar? Sayang mungkin jawabannya bisa sebaliknya.
Saya mendapat cerita dari Mas Abdul
Munir Mulkhan bagaimana ketika ia naik haji orang saling berebut untuk mencium
hajar aswat. Karena nafsu "untuk mendapatkan pahala yang besar",
orang saling berusaha keras, dan tidak jarang harus mengorbankan orang lain,
agar mendapat kesempatan tersebut. Di mata Munir hal tersebut dirasakan sangat
egois dan "tak berperikemanusiaan". Itulah sebabnya, ia memutuskan
untuk tidak saling berebut dan bersikut, hanya untuk berbuat kebajikan itu.
Tapi mana tahu pandangan tersebut
terlalu subjektif. Karena bisa saja tidak semua orang menganggap bahwa saling
berpacu tersebut menjadi perbuatan yang tidak berprikemanusiaan. Apalagi jika
menyadari bahwa kesempatan untuk berbuat baik sedapat mungkin harus
disegerakan. Tuhan pun berkata berpaculah dalam kebaikan, tidak perlu antri, tidak
perlu menunggu giliran, karena kalau menunggu giliran, kita tidak pernah tahu
apakah akan masih ada kesempatan.
Di samping itu, ilustrasi tersebut
mungkin juga berlebihan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, siapa
yang mau menjadi perlopor untuk berbuat kebaikan jika tidak saling mendahului. Karena kalau tidak
saling mendahului, frekuensi terjadinya kebaikan akan terus kalah dengan
frekuensi perbuatan buruk.
Kita sedang berpacu dengan perbuatan
yang tidak baik, dalam arti, jika dalam perbuatan menggilir perempuan saja,
karena ingin saling mendahului, seseorang tega menusuk manusia lain, maka kalau
semangat berbuat baik tidak seperti itu, tentulah akan terus kalah bersaing
dulu-duluan. Frekuensi kecepatannya kalah jauh. Sudahlah pasti, untuk berbuat
kebaikan kita tidak harus saling menusuk. Karena, apa kita gila? * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar