Jumat, 27 April 2012

MENGGILIR DAN GILIRAN




Alangkah seriusnya sebuah kata bernama gilir. Pada sebuah media massa tertu­lis berita demikian; Rebutan Menggilir, Seorang Teman Ditusuk. Kita tahu, urusan menggilir di sini tentulah urusan memperkosa atau bergantian menyenggamai (secara paksa) seorang wanita. Sebetulnya bukan perkosaan itu sendiri yang membuat ada penusukan, tetapi justru urusan siapa dulu yang berhak melampiaskan nafsu seks. Tujuan pemuasan menghalalkan segala cara.

Jadi, kata menggilir, hampir dapat dipastikan berhubungan dengan sesuatu secara berganti-ganti, khususnya memuaskan hawa nafsu seksual terhadap korban sasaran. Tentu ia bisa berubah arti jika konteksnya juga berubah. Misalnya, dalam kehidupan ekonomi dan politik, tidak jarang kita saling sikut dan bahkan membunuh untuk berebut giliran saling mendahului (Maka ada tulisan: Sesama Bis Kota Dilar­ang Saling Mendahului).

Sekali lagi, hal penting dari kata menggilir adalah adanya kandungan arti bergantian, semacam antri. Sesungguhnya, urusan inilah yang menjadi inti permasa­lahan dan sekaligus sangat merepotkan. Berita di atas, sehingga terjadi penusukan, hanya soal siapa yang lebih dulu menggilir jika dalam segi apapun kedudukan yang akan menggilir sama. Dalam berita itu kita dapat pelajaran bahwa yang paling berhak menggilir duluan adalah yang paling kuat, yang paling berani, dan tentu yang paling bernafsu.

Dimensi lain dari kandungan menggilir adalah memuaskan hawa nafsu. Dalam berita tersebut tentu hawa nafsu seks. Tetapi yang namanya hawa nafsu bermacam- macam, hawa nafsu berkuasa, hawa nafsu makan dan minum, hawa nafsu kaya, hawa nafsu amarah, dan sebagainya.

Artinya, jika aspek penting dalam menggilir itu adalah giliran, bergantian, maka alangkah penting pula untuk bergantian dalam hal berkuasa, dalam hal menjadi kaya, dalam hal makan minum, atau bahkan sekedar bergiliran melampiaskan amarah. Soeharto dipaksa jatuh, karena pada dasarnya dia tidak mau bergiliran menjadi penguasa. Kalau dia tahu bahwa ada kata yang bernama giliran, tentu ia tidak dipaksa tumbang.

Perut dan kerongkongan juga perlu mendapat giliran kenyang dan lapar, atau haus dan tidak haus. Ini penting dipahami agar orang tidak makan dan minum terus karena jika itu terjadi maka perut kita akan protes, dan bisa jadi kita terbunuh kare­nanya. Orang perlu menggilir kapan harus makan dan minum agar kita dapat mera­sakan nikmatnya makan dan minum.

* * *
Dengan begitu, menggilir atau giliran itu hampir semacam hukum alam. Bahwa satu peristiwa yang sama, satu konteks yang sama, satu saat yang sama, tidak dapat terjadi secara bersamaan. Pastilah akan terjadi kekacauan jika satu kata saja maunya diucapkan secara bersamaan. Kata tersebut menjadi tidak dapat dimengerti karena ia tidak menjadi kalimat. Jadi esensi kalimat adalah menggilir kata-kata dalam sebuah struktur alur. Bagaimana struktur tersebut dibangun, itu urusan kon­vensi. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, ada yang kemudian menjadi Subjek, Predikat, Objek, Keterangan, dan sebagainya.

Berdasarkan keterangan di atas, ada dua hal yang perlu ditekankan bahwa yang namanya menggilir dan giliran itu merupakan hukum alam di satu pihak, dan di lain pihak dalam mempraktikannya ada aturan mainnya, ada konvensinya. Sebagai hukum alam sistem giliran merupakan sesuatu yang tidak dapat ditentang. Kalau dilanggar maka akan kacaulah dunia. Sebagai contoh, setelah siang, giliran malam. Jadi, waktu pun memiliki ketertiban sendiri untuk saling menggilir.

Dengan demikian, bergilir dalam konteks hukum alam berkaitan pula dengan ketertiban bagaimana sesungguhnya dunia dan alam semesta ini tertata sedemikian rupa agar saling memahami, saling mengerti fungsinya masing-masing, saling mengerti kapan dia harus berperan, harus maklum terhadap giliran masing-masing. Dia adalah sesuatu yang natural.

Sebaliknya, bergiliran yang berkaitan dengan aturan main sesuai dengan kenvensi lebih semacam sesuatu yang bersifat kultural. Dia merupakan konstruksi sosial yang pada awalnya merupakan akal-akalan manusia belaka. Boleh dilanggar sejauh itu tidak merugikan, dan sebaiknya tidak perlu dilawan jika memang hal tersebut merupakan yang terbaik.

Contoh yang tidak perlu ditentang, bahkan sebaiknya dipelihara adalah budaya antri. Tapi, sekali lagi, di sini pula repotnya. Kita adalah sebuah bangsa yang paling tidak tahu aturan main peradaban dan berkebudayaan. Maunya selalu yang pertama, yang nomor satu, yang didahulukan. Sebagai akibatnya, untuk mendapatkan yang harus didahulukan, kita menempuh segala macam cara. Kalau perlu dengan cara kolusi, nyogok, dan sebagainya.

Kalau kolusi, tentu ada perjanjian tertentu yang ilegal. Yang namanya ilegal selalu adalah sebuah kejahatan. Demikian juga jika nyogok, tentu butuh dana. Kemudian, kita mencari sejumlah dana dengan berbagai cara. Cara termudah tentu­lah dengan cara korupsi. Korupsi memang mengandung resiko. Tapi, di lain pihak kita pun tahu bahwa di negeri kita ini korupsi tidak dapat dituduhkan begitu saja. Kalau bisa dituduh dan menjadi tersangka, belum tentu dapat dibuktikan. Belum tentu masuk penjara, atau mungkin belum apa-apa sudah dimaafkan.

Akhirnya hukum memang sulit ditegakkan. Apalagi jika di dalamnya ada unsur keluarga. Kalau tidak ada unsur keluarga, paling tidak diselesaikan secara kekeluar­gaan. Memang sama-sama memakai kata keluarga. Tapi dimensinya berbeda. Jika yang pertama nopotisme, maka yang kedua justru menghindari hukum. Sekali lagi hukum tidak bisa ditegakkan. Sistem giliran tidak dapat berjalan sebagai mana mestinya. Alhasil, budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme berjalan terus.

Berkaitan dengan itu, kita perlu menduga bahwa krisis yang sedang terjadi di negeri kita ini jangan-jangan karena kita tidak tahu hukum alam dan konvensi bagaimana caranya menggilir, giliran, atau bahkan sekadar bergilir.
* *  *
Jika berbuat maksiat perlu giliran, apakah untuk berbuat baik juga perlu saling menggilir? Atau jika pertanyaannya dirubah, apakah ada mekanisme giliran yang perlu, bisa, atau justru sebaiknya dilanggar? Sayang mungkin jawabannya bisa seba­liknya.

Saya mendapat cerita dari Mas Abdul Munir Mulkhan bagaimana ketika ia naik haji orang saling berebut untuk mencium hajar aswat. Karena nafsu "untuk mendapatkan pahala yang besar", orang saling berusaha keras, dan tidak jarang harus mengorbankan orang lain, agar mendapat kesempatan tersebut. Di mata Munir hal tersebut dirasakan sangat egois dan "tak berperikemanusiaan". Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk tidak saling berebut dan bersikut, hanya untuk berbuat kebaji­kan itu.

Tapi mana tahu pandangan tersebut terlalu subjektif. Karena bisa saja tidak semua orang menganggap bahwa saling berpacu tersebut menjadi perbuatan yang tidak berprikemanusiaan. Apalagi jika menyadari bahwa kesempatan untuk berbuat baik sedapat mungkin harus disegerakan. Tuhan pun berkata berpaculah dalam kebaikan, tidak perlu antri, tidak perlu menunggu giliran, karena kalau menunggu giliran, kita tidak pernah tahu apakah akan masih ada kesempatan.

Di samping itu, ilustrasi tersebut mungkin juga berlebihan. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, siapa yang mau menjadi perlopor untuk berbuat kebaikan jika  tidak saling mendahului. Karena kalau tidak saling mendahului, fre­kuensi terjadinya kebaikan akan terus kalah dengan frekuensi perbuatan buruk.
Kita sedang berpacu dengan perbuatan yang tidak baik, dalam arti, jika dalam perbuatan menggilir perempuan saja, karena ingin saling mendahului, seseorang tega menusuk manusia lain, maka kalau semangat berbuat baik tidak seperti itu, tentulah akan terus kalah bersaing dulu-duluan. Frekuensi kecepatannya kalah jauh. Sudahlah pasti, untuk berbuat kebaikan kita tidak harus saling menusuk. Karena, apa kita gila? * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar