Rabu, 25 April 2012

MABUK MISKIN

Oleh Aprinus Salam

Kalau benar yang mengakibatkan sejumlah kecelakaan kendaraan di berbagai jalan Indonesia, karena supir dalam keadaan mabuk, maka menarik ketika kemabukan, untuk kesekian kalinya, masih dijadikan angle berita dan cerita. Apalagi ketika kemabukan dijadikan semacam kotak hitam, yang dengannya persoalan menjadi lebih jelas dan pada saatn­ya diharapkan berperan sebagai titik ujung bagi upaya-upaya penyelesaian.

Padahal, apakah persoalannya sesederhana itu? Bahwa sebetulnya kemabukan bukan soal kambing hitam atau kambing putih. Ia bagian integral dari keniscayaan- keniscayaan fisikal, psikologis, sosial, politik, ekonomi, dan kehidupan itu sendiri. Bahkan saya ingin mengatakan bahwa yang terjadi adalah sebagian besar masyarakat kita sedang mengalami mabuk miskin. Suatu kondisi mabuk karena minum dan makan kemiskinan.

* * *
Mabuk, adalah suatu kondisi ketika kesadaran tidak berada dalam kondisi sewajarnya, seperti ketika seharusnya seseorang dalam kondisi normal sehat. Jenis dan sebab mabuk pun bermacam-macam. Ada yang disebabkan minuman (keras) yang biasa kita sebut sebagai mabuk dalam pengertian aslinya. Ada juga karena memasukan sesuatu ke tubuh seperti pil (dalam berbagai bentuknya), atau menyun­tikkan sesuatu ke tubuh, dll. Akibat kasus kedua biasa kita sebut teler.

Ada juga jenis mabuk karena "kemasukan roh", seperti pada beberapa jenis kesenian tradisional. Kadang-kadang kita juga menyebut hal itu mabuk (bhs Jawa: ndadi), atau barangkali lebih tepat jika disebut trance.

Kemudian peristiwa mabuk mengalami pelebaran signifikan, seperti mabuk darat, mabuk laut, mabuk udara, mabuk kepayang, mabuk asmara, mabuk harta, mabuk kekuasaan, bahkan mabuk-mabukan. Dalam kehidupan beragama kita men­genal istilah mabuk Tuhan. Saya akan mempersoalkan mabuk dalam pengertiannya yang agak negatif. 

Tetapi, hal yang paling parah adalah mabuk miskin. Orang mengalami ketidasadaran karena kemiskinan yang terus menerus sehingga banyak hal yang dilakukannya di luar kesadarannya.

Sebab teknis kemabukan relatif bermacam-macam. Ada yang barangkali sekadar ikut-ikutan/iseng, frustasi, atau kecewa terhadap suatu hal. Tidak tertutup kemungkinan sebagai bagian dari mata pencarian (untuk beberapa kesenian tradi­sional). Namun, secara umum kita sering merumuskannya sebagai suatu peristiwa ketika seseorang atau sekelompok orang ingin "menolak" realitas yang sedang dialaminya, jika ia dalam keadaan normal-waras. Mabuk menjadi sebuah pelarian ke dunia kesendirian, dan sebagainya.

Cara itu yakni dengan menciptakan kesadaran semu sehingga seseorang atau sekelompok orang itu seolah-olah tidak dalam situasi dan kondisi yang mereka tolak. Terlepas dari mabuk itu mungkin menyenangkan dan menagihkan, ketika seseorang/sekelompok orang sadar bahwa ternyata realitas yang mereka tolak tidak berubah, maka peristiwa mabuk menjadi alternatif yang berpeluang besar untuk diulang-ulang.

Ada satu hal lain yang perlu ditegaskan bahwa seseorang ketika dalam keadaan mabuk sering tidak sadar/tidak tahu bahwa ia dalam kondisi mabuk. Pada umumnya orang lain yang tidak mabuk yang mengatahuinya. Logika itu sekaligus memberikan pengertian bahwa dalam dunia mabuk, orang yang waras yang dianggap mabuk.

* * *
Persoalannya adalah realitas seperti apa yang menyebabkan seseorang memilih "lari", sehingga memberi alasan untuk memilih kemabukan sebagai upaya jalan ke luar. Dalam konteks inilah mau tidak mau kita harus melihat berbagai kenyataan sosial, ekonomi, politik, dll, yang kita alami bersama.

Mengikuti penjelasan di atas, konsep penting dari fenomena mabuk adalah, pertama, ada jenis mabuk yang memang merupakan terganggunya kesadaran secara fisik (mabuk karena minuman dan teler) dalam rangka menolak realitas. Sebagai contoh, karena frustasi, karena tekanan ekonomi. Saya menamakannya "mabuk fisikal". Jenis mabuk ini lebih bersifat mabuk-mabukan dan temporal.

Kedua, kemungkinan seseorang mabuk untuk suatu hal yang sangat digandrun­ginya secara berlebihan sehingga secara sadar atau tidak seseorang berusaha menca­pai kondisi itu. Misalnya, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dll. Pada peristiwa ini saya sebut sebagai "mabuk psikososial". Mabuk pada kondisi ini memang sunggu­han, dan bisa jadi berkelanjutan. Orang dalam peristiwa ini mungkin secara fisik sehat, tetapi kesadarannya tidak dalam kondisi sewajarnya. Kita sering menyebutnya ada yang tidak beres dalam dirinya. Implikasi dari dua jenis mabuk itu juga bervariasi dan berbeda-beda. Saya mulai dari jenis mabuk kedua. Karena saya anggap lebih serius, dan pada tingkat tertentu justru menyebabkan kemabukan jenis pertama.

* * *
Kalau kita sepakat bahwa memang ada peristiwa ketika seseorang mabuk harta, mabuk kekuasaan, mabuk popularitas, sehingga dengannya seseorang mencoba meraih keinginan berlebihan itu dengan segala cara, maka jujur sajalah kita bahwa alangkah banyak orang-orang di sekitar kita, bahkan kita sendiri, yang sesungguhnya sedang mabuk.

Manifestasi dari usaha untuk memenuhi kegandrungan itu tentu bermacam- macam pula. Tetapi dasar dalam keadaan mabuk, yang relatif tidak sadar bahwa kita sesungguhnya dalam keadaan mabuk, terlihat bahwa semuanya seolah-olah memang dimikian sewajarnya.

Misalnya, manifestasi dari kemabukan terhadap kekuasaan tercermin dari reali­tas politik kita. Mengapa politik? Karena realitas itulah yang paling memungkinkan untuk mewujudkan apa yang diidam-idamkan. Dari itu, yang terjadi adalah ketika kehidupan politik sangat diperalat demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelom­pok. Politik tidak lagi menjadi media bagi tujuan yang mulia untuk membangun tatanan masyarakat dan bernegara secara lebih baik.

Sejalan dengan itu, manifestasi dari kemabukan terhadap harta tampak dari kehidupan berekonomi, misalnya. Pada dasarnya kedua aspek tersebut berjalan dengan amat paralel. Sebagai akibatnya, yang terjadi adalah realitas ekonomi dan politik yang menekan, eksploitatif, brutal, semau gue, dan kondisi lain sejenis. Konkritnya, kita mengenal istilah yang kaya tambah kaya, yang miskin tetap miskin. Atau yang berkuasa semakin berkuasa, yang tertindas semakin terlindas.

Kondisi ini pada gilirannya menciptakan ketegangan, kepalsuan, ketimpangan yang akut. Jika berlanjut, bagi mereka yang ternyata tidak mempu bersaing, katakan­lah yang menjadi korban dari jenis mabuk yang sungguhan itu, maka kondisi itu menskenario kemabukan-kemabukan lain sebagai bentuk "perlawanan/penolakan" terhadap berbagai kepalsuan dan ketimpangan.

* * *
Mabuk yang kita bicarakan, dalam perspektif apapun mungkin tidak begitu diterima. Artinya, apapun alasan pengendara kendaraan itu sehingga ia harus mabuk adalah pilihan yang salah. Karena ia telah mengambil resiko dengan memper­judikan puluhan nyawa.

Seperti halnya maling atau korupsi. Korupsi sepuluh ribu rupiah dan atau korupsi sepuluh milyar tetap namanya korupsi. Alasan apapun yang menyebabkan seseorang korupsi kita anggap sebagai pilihan yang tidak benar.

Persoalannya bukan terletak pada korupsi. Tetapi bagaimana kita menyikapi tindak korupsi itu, sehingga dengannya kita berlaku adil, arif dan bijaksana. Mak­sudnya, jangan kemudian yang terjadi adalah maling ayam dipukuli hingga babak belur dan dipenjara, sementara maling-maling besar justru masih bergentayangan dengan bebasnya. 

Sama halnya ketika kita harus menyikapi peristiwa mabuk. Prinsip yang menjadi persoalan bukan pada kemabukan itu sendiri, lebih-lebih bagaimana kita menyikapi peristiwa mabuk dengan jujur dan berani. Kita tidak berani bersikap terbuka kepada orang-orang yang sesungguhnya dalam kondisi "mabuk psikososial", yang justru memakan korban lebih besar. Namun, ketika kita menemukan ada orang mabuk karena frustasi rakyat kecil, yang kebetulan juga memakan korban, kita menghakiminya habis-habisan.

Jadi, jangan semata-mata salahkan mereka yang mabuk pada tingkat pertama di atas. Walau mereka tetap salah, kasihani dan bela mereka. Karena, mana tahu sebe­tulnya (suatu ketika) kita senasib seperti dialami mereka yang mabuk miskin itu. 

Di atas semua itu, justru mabuk karena kemiskinanlah yang perlu kita hindari. Mudah-mudahan tidaklah.... * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar