Oleh Aprinus Salam
Kalau benar yang mengakibatkan sejumlah
kecelakaan kendaraan di berbagai jalan Indonesia, karena supir dalam keadaan
mabuk, maka menarik ketika kemabukan, untuk kesekian kalinya, masih dijadikan angle berita dan cerita. Apalagi ketika
kemabukan dijadikan semacam kotak hitam, yang dengannya persoalan menjadi lebih
jelas dan pada saatnya diharapkan berperan sebagai titik ujung bagi
upaya-upaya penyelesaian.
Padahal, apakah persoalannya
sesederhana itu? Bahwa sebetulnya kemabukan bukan soal kambing hitam atau
kambing putih. Ia bagian integral dari keniscayaan- keniscayaan fisikal,
psikologis, sosial, politik, ekonomi, dan kehidupan itu sendiri. Bahkan saya
ingin mengatakan bahwa yang terjadi adalah sebagian besar masyarakat kita
sedang mengalami mabuk miskin. Suatu kondisi mabuk karena minum dan makan kemiskinan.
* * *
Mabuk, adalah suatu kondisi ketika
kesadaran tidak berada dalam kondisi sewajarnya, seperti ketika seharusnya
seseorang dalam kondisi normal sehat. Jenis dan sebab mabuk pun bermacam-macam.
Ada yang disebabkan minuman (keras) yang biasa kita sebut sebagai mabuk dalam
pengertian aslinya. Ada juga karena memasukan sesuatu ke tubuh seperti pil
(dalam berbagai bentuknya), atau menyuntikkan sesuatu ke tubuh, dll. Akibat
kasus kedua biasa kita sebut teler.
Ada juga jenis mabuk karena
"kemasukan roh", seperti pada beberapa jenis kesenian tradisional.
Kadang-kadang kita juga menyebut hal itu mabuk (bhs Jawa: ndadi), atau
barangkali lebih tepat jika disebut trance.
Kemudian peristiwa mabuk mengalami
pelebaran signifikan, seperti mabuk darat, mabuk laut, mabuk udara, mabuk
kepayang, mabuk asmara, mabuk harta, mabuk kekuasaan, bahkan mabuk-mabukan.
Dalam kehidupan beragama kita mengenal istilah mabuk Tuhan. Saya akan
mempersoalkan mabuk dalam pengertiannya yang agak negatif.
Tetapi, hal yang paling parah adalah mabuk miskin. Orang mengalami ketidasadaran karena kemiskinan yang terus menerus sehingga banyak hal yang dilakukannya di luar kesadarannya.
Tetapi, hal yang paling parah adalah mabuk miskin. Orang mengalami ketidasadaran karena kemiskinan yang terus menerus sehingga banyak hal yang dilakukannya di luar kesadarannya.
Sebab teknis kemabukan relatif
bermacam-macam. Ada yang barangkali sekadar ikut-ikutan/iseng, frustasi, atau
kecewa terhadap suatu hal. Tidak tertutup kemungkinan sebagai bagian dari mata
pencarian (untuk beberapa kesenian tradisional). Namun, secara umum kita
sering merumuskannya sebagai suatu peristiwa ketika seseorang atau sekelompok
orang ingin "menolak" realitas yang sedang dialaminya, jika ia dalam
keadaan normal-waras. Mabuk menjadi sebuah pelarian ke dunia kesendirian, dan
sebagainya.
Cara itu yakni dengan menciptakan
kesadaran semu sehingga seseorang atau sekelompok orang itu seolah-olah tidak
dalam situasi dan kondisi yang mereka tolak. Terlepas dari mabuk itu mungkin
menyenangkan dan menagihkan, ketika seseorang/sekelompok orang sadar bahwa
ternyata realitas yang mereka tolak tidak berubah, maka peristiwa mabuk menjadi
alternatif yang berpeluang besar untuk diulang-ulang.
Ada satu hal lain yang perlu
ditegaskan bahwa seseorang ketika dalam keadaan mabuk sering tidak sadar/tidak
tahu bahwa ia dalam kondisi mabuk. Pada umumnya orang lain yang tidak mabuk
yang mengatahuinya. Logika itu sekaligus memberikan pengertian bahwa dalam
dunia mabuk, orang yang waras yang dianggap mabuk.
* * *
Persoalannya adalah realitas seperti
apa yang menyebabkan seseorang memilih "lari", sehingga memberi
alasan untuk memilih kemabukan sebagai upaya jalan ke luar. Dalam konteks
inilah mau tidak mau kita harus melihat berbagai kenyataan sosial, ekonomi,
politik, dll, yang kita alami bersama.
Mengikuti penjelasan di atas, konsep
penting dari fenomena mabuk adalah, pertama, ada jenis mabuk yang memang merupakan
terganggunya kesadaran secara fisik (mabuk karena minuman dan teler) dalam
rangka menolak realitas. Sebagai contoh, karena frustasi, karena tekanan
ekonomi. Saya menamakannya "mabuk fisikal". Jenis mabuk ini lebih
bersifat mabuk-mabukan dan temporal.
Kedua, kemungkinan seseorang mabuk
untuk suatu hal yang sangat digandrunginya secara berlebihan sehingga secara
sadar atau tidak seseorang berusaha mencapai kondisi itu. Misalnya, mabuk
kekuasaan, mabuk harta, dll. Pada peristiwa ini saya sebut sebagai "mabuk
psikososial". Mabuk pada kondisi ini memang sungguhan, dan bisa jadi
berkelanjutan. Orang dalam peristiwa ini mungkin secara fisik sehat, tetapi
kesadarannya tidak dalam kondisi sewajarnya. Kita sering menyebutnya ada yang
tidak beres dalam dirinya. Implikasi dari dua jenis mabuk itu juga bervariasi
dan berbeda-beda. Saya mulai dari jenis mabuk kedua. Karena saya anggap lebih
serius, dan pada tingkat tertentu justru menyebabkan kemabukan jenis pertama.
* * *
Kalau kita sepakat bahwa memang ada peristiwa
ketika seseorang mabuk harta, mabuk kekuasaan, mabuk popularitas, sehingga
dengannya seseorang mencoba meraih keinginan berlebihan itu dengan segala cara,
maka jujur sajalah kita bahwa alangkah banyak orang-orang di sekitar kita,
bahkan kita sendiri, yang sesungguhnya sedang mabuk.
Manifestasi dari usaha untuk
memenuhi kegandrungan itu tentu bermacam- macam pula. Tetapi dasar dalam
keadaan mabuk, yang relatif tidak sadar bahwa kita sesungguhnya dalam keadaan
mabuk, terlihat bahwa semuanya seolah-olah memang dimikian sewajarnya.
Misalnya, manifestasi dari kemabukan
terhadap kekuasaan tercermin dari realitas politik kita. Mengapa politik?
Karena realitas itulah yang paling memungkinkan untuk mewujudkan apa yang
diidam-idamkan. Dari itu, yang terjadi adalah ketika kehidupan politik sangat
diperalat demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Politik tidak
lagi menjadi media bagi tujuan yang mulia untuk membangun tatanan masyarakat
dan bernegara secara lebih baik.
Sejalan dengan itu, manifestasi dari
kemabukan terhadap harta tampak dari kehidupan berekonomi, misalnya. Pada
dasarnya kedua aspek tersebut berjalan dengan amat paralel. Sebagai akibatnya,
yang terjadi adalah realitas ekonomi dan politik yang menekan, eksploitatif,
brutal, semau gue, dan kondisi lain sejenis. Konkritnya, kita mengenal istilah
yang kaya tambah kaya, yang miskin tetap miskin. Atau yang berkuasa semakin
berkuasa, yang tertindas semakin terlindas.
Kondisi ini pada gilirannya
menciptakan ketegangan, kepalsuan, ketimpangan yang akut. Jika berlanjut, bagi
mereka yang ternyata tidak mempu bersaing, katakanlah yang menjadi korban dari
jenis mabuk yang sungguhan itu, maka kondisi itu menskenario
kemabukan-kemabukan lain sebagai bentuk "perlawanan/penolakan"
terhadap berbagai kepalsuan dan ketimpangan.
* * *
Mabuk yang kita bicarakan, dalam
perspektif apapun mungkin tidak begitu diterima. Artinya, apapun alasan pengendara kendaraan itu sehingga ia harus mabuk adalah pilihan yang salah.
Karena ia telah mengambil resiko dengan memperjudikan puluhan nyawa.
Seperti halnya maling atau korupsi.
Korupsi sepuluh ribu rupiah dan atau korupsi sepuluh milyar tetap namanya
korupsi. Alasan apapun yang menyebabkan seseorang korupsi kita anggap sebagai
pilihan yang tidak benar.
Persoalannya bukan terletak pada
korupsi. Tetapi bagaimana kita menyikapi tindak korupsi itu, sehingga dengannya
kita berlaku adil, arif dan bijaksana. Maksudnya, jangan kemudian yang terjadi
adalah maling ayam dipukuli hingga babak belur dan dipenjara, sementara
maling-maling besar justru masih bergentayangan dengan bebasnya.
Sama halnya ketika kita harus
menyikapi peristiwa mabuk. Prinsip yang menjadi persoalan bukan pada kemabukan
itu sendiri, lebih-lebih bagaimana kita menyikapi peristiwa mabuk dengan jujur
dan berani. Kita tidak berani bersikap terbuka kepada orang-orang yang
sesungguhnya dalam kondisi "mabuk psikososial", yang justru memakan
korban lebih besar. Namun, ketika kita menemukan ada orang mabuk karena
frustasi rakyat kecil, yang kebetulan juga memakan korban, kita menghakiminya
habis-habisan.
Jadi, jangan semata-mata salahkan
mereka yang mabuk pada tingkat pertama di atas. Walau mereka tetap salah,
kasihani dan bela mereka. Karena, mana tahu sebetulnya (suatu ketika) kita
senasib seperti dialami mereka yang mabuk miskin itu.
Di atas semua itu, justru mabuk karena kemiskinanlah yang perlu kita hindari. Mudah-mudahan tidaklah.... * * *
Di atas semua itu, justru mabuk karena kemiskinanlah yang perlu kita hindari. Mudah-mudahan tidaklah.... * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar